Rabu, 07 Januari 2015

The Impact of the Purchaser-Provider Split in the UK



DAMPAK DARI Purchaser- Provider Split di United Kingdom (UK)

Pendahuluan

Bab 13 memberikan penjelasan tentang makna dan tingkat persaingan pada pemerintah daerah dan mempertimbangkan bagaimana hal itu dapat ditingkatkan melalui Purchaser- Provider Split. Referensi ini dibuat untuk mengembangkan teori ekonomi dan teori organisasi serta model formal terkait efektivitas biaya. Model ini dibedakan secara konseptual yang berdampak pada kedua hipotesis  yakni biaya jasa layanan dan kualitas layanan. Sementara perspektif ekonomi tetap mempertahankan pada kualitas layanan, diakui bahwa konseptualisasi kualitas layanan lebih memerlukan pendekatan Bronder dari pada pendekatan konvensional yang diadopsi oleh para ekonom.
Bab ini menguji beberapa prediksi teoritis dari dampak persaingan Purchaser- Provider Split pada biaya dan kualitas layanan. Fokus pada pengalaman di UK, terutama dalam kualitas pelayanan. Manajemen jasa olahraga dan rekreasi serta penyediaan makanan di sekolah dianalisis sebagai dua studi kasus untuk menggambarkan perlunya pendekatan multidisiplin yang luas dalam mempelajari dampak dari persaingan kualitas layanan.
Bukti di UK
Purchaser- Provider Split didukung oleh rezim The UK's Compulsory Competitive Tendering (CCT) yang dijelaskan dalam bab sebelumnya yaitu Bab 12 dan 13. Selama 1980-an dan awal 1990-an konstruksi terkait rezim CCT diaplikasikan pada layanan yang tercantum dalam Tabel 13.1 ditambah dengan kegiatan yang ada dalam pemerintah daerah. Sementara terjadi situasi  yang bervariasi dari kompleksitas politik yang berbeda antar pemerintah daerah di UK, ada beberapa bukti bahwa Purchaser- Provider Split memiliki beberapa dampak.
Peran Politisi Lokal
Tampaknya ada pergeseran atau keterlibatan politisi lokal terhadap keprihatinan pada penyediaan secara langsung (kebutuhan untuk memenangkan kontrak untuk menjaga pekerjaan pegawai pemerintah daerah) dan menuju kepedulian terhadap layanan secara umum serta secara khusus fokus pada pelanggan (Walsh dan Davis 1993). Sebuah survei Local Government Management Board (LGMB) menyatakan bahwa ada perubahan wewenang yang terjadi pada 285 Organisasi. Rao dan Young (1995) menemukan bahwa 43 persen dari otoritas politisi lokal sangat terlibat dalam mengembangkan kebijakan dan 47 persen dari mereka terlibat dalam penetapan standar. Sebaliknya, hanya 15 persen yang terlibat dalam menentukan kontrak dan  14 persen dari mereka yang terlibat dalam pengawasan.
Pergeseran secara progresif ini mungkin mencerminkan perkembangan perimbangan ide-ide klien pada sisi kontraktor dari Purchaser- Provider Split. Secara umum dalam kasus terakhir keterlibatan politisi lokal cenderung sangat terbatas disebabkan karena adanya delegasi yang besar dari komite layanan pemerintah daerah untuk kedua sisi klien dan sisi kontraktor. Hal ini  terjadi karena siklus komite pemerintah daerah tidak cocok untuk kebutuhan dalam pengambilan keputusan secara cepat oleh otoritas lokal pada unit produksi in-house, yang dikenal dengan istilah Direct Labour Organizations (DLOs) untuk kegiatan yang terkait dengan konstruksi atau Direct Service Organization (DSO) untuk jenis layanan lain yang berada dibawah naungan Compulsory Competitive Tendering (CCT).
Oleh karena itu, keterlibatan politisi lokal pada sisi kontraktor cenderung lebih sporadis dalam menanggapi isu-isu tertentu. Keterlibatan mereka pada sisi klien sering melalui posisi mereka dengan badan eksternal, khususnya badan yang mengatur sekolah. Hasil akhirnya adalah pelaporan yang tidak memadai terkait kontrak kinerja dan pengawasan oleh komite pemerintah daerah. Defisit struktural ini tampaknya telah diperkuat oleh putusnya budaya dalam pembagian klien dan kontraktor dalam keanggotaan yang sulit menemukan kecocokan peran mereka (yaitu politisi lokal) (Walsh dan Davis 1993, hal.23).

Struktur manajemen
Kompetisi dapat mengarah langsung dalam peningkatan efisiensi pada sisi kontraktor (lihat di bawah ini), tetapi belum tentu memiliki dampak apapun (baik secara tidak langsung pada direktur) pada struktur tata kelola di sisi klien. Struktur manajemen pada sisi klien sangat terpusat (dalam bentuk unit spesialis klien tunggal pada bendahara eksekutif atau pada departemen personalia), sangat terdesentralisasi (dalam departemen pelayanan individu yang bertanggung jawab pada kontrak mereka sendiri) atau sebagian kasus desentralisasi klien pada departemen (misalnya departemen pendidikan mengambil peran klien untuk semua urusan bangunan, kebersihan, pendidikan dan kesejahteraan katering dengan alasan pemeliharaan pekerjaan).
Peraturan yang diperkenalkan oleh the 1992 Local Government Act sebagai alasan untuk purchaser-provider split, akan tetapi aturan tersebut tidak menentukan sifat yang tepat dari perpecahan. Hasilnya adalah bahwa perbedaan antara klien dan kontraktor menjadi meluas dengan DSO dan unit kontraktor pada departemen yang terpisah, (hard split yang keras biasanya terjadi untuk pengumpulan sampah/masalah kebersihan). Beberapa pihak telah mengadopsi perjanjian 'twin-hatted' diantara klien dan kontraktor (DSO) terkait peran yang dikelola dalam departemen layanan yang sama (soft split). Dalam kasus terakhir, secara resmi laporan dipisahkan antara unit klien dan kontraktor (DSO) kepada struktur manajemen yang sama, hal ini secara umum terjadi pada manajemen olahraga dan rekreasi (LGMB 1992). Pendekatan yang paling umum adalah multi-functional DSO yang mana DSO secara mandiri berdiri sendiri mengoperasikan beberapa kontrak (Walsh 1991).

Apakah Kontraktor Yang Kompetitif Bisa Mengurangi Biaya Jasa?
Sementara hasil yang memenuhi syarat oleh masalah metodologis (Marsh, 1991: Cope 1995) sebagai bukti (beberapa hubungan di antara negara-negara lain selain UK) bahwa hasil kontrak yang kompetitif terhadap penghematan biaya yang signifikan dalam penyediaan layanan pemerintah daerah (misalnya, Komisi Audit 1984, 1987, 1988; Carnaghan dan Bracewell 1993; Chaundy dan Uttley 1993;. Cubbin et al 1987;. Domberger et al 1986, 1988 ; Ganley dan Grahl 1988; IPF 1986; Kerley dan Wynn 1991; Parker dan Hartley 199O, Szymanski dan Wilkins 1993; Uttley dan Harper 1993; Vining, dan Boardman 1992; Voytek 1991; Walker 1993; Walsh 1991; Walsh dan Davis 1993). Penghematan biaya yang sebagian besar bangkit dari peningkatan efisiensi teknis, perubahan dalam campuran modal kerja, baik sebagai kelompok manajemen dan kelompok pengurangan biaya overhead dari pada melalui pemotongan upah dan PHK paksa.
Mungkin, tentu saja ada kasus dalam peningkatan biaya. Ini secara khusus akan menjadi kasus di mana pasar tidak benar-benar diperdebatkan sehingga penghematan biaya fungsi produksi (jika ada) tidak cukup untuk mengimbangi biaya administrasi kontrak. Selain itu, angka-angka untuk penghematan biaya yang sangat tergantung pada sifat layanan negara yang berkaitan dengan data, serta apakah dengan penghematan pada data tersebut setelah dikurangi dengan biaya kontrak dan pengawasan. Namun, tabungan bruto sekitar 20 persen dianggap cukup representatif (Bailey 1995; Cabinet Office 1996; Dumberger dan Jensen 1997).
Penghematan biaya ini dapat digambarkan dalam hal pergeseran pada agen production possibility frontier (PPF). Selain itu, kontraktor yang kompetitif dapat mengakibatkan agen menawarkan kombinasi input pada PPF yang dapat memaksimalkan kesejahteraan pokok (lihat Gambar 5.2). Dalam hal ini, dilaporkan penghematan biaya di bawah perkiraan total keuntungan ekonomi pokok.

Apakah kontraktor yang kompetitif bisa meningkatkan kualitas layanan?
Sebuah survei tahun 1995 pada semua pemerintah daerah di Inggris menemukan bahwa mereka masih berkaitan erat dengan input dan proses (didefinisikan dalam Bab 13) yang digunakan untuk menghasilkan layanan yang tunduk pada CCT, bahkan mungkin lebih sebagai akibat dari kerasnya kontrak antara pembeli dan Provider yang kini terpecah (Bailey dan Davidson 1996, 1997, 1999: Davidson dan Bailey 1996). Pada titik keseimbangan, perhatian pembeli fokus pada kualitas dan yang paling utama pada proses dari pada Input (seharusnya keduanya menjadi tanggung jawab provider) atau output dan outcome (seharusnya keduanya menjadi tanggung jawab pembeli).
Penekanan pada proses dibuktikan dengan ketergantungan pada mekanisme seperti pemberian pelayanan, pembetulan kesalahan dan waktu respon yang menyarankan pendekatan proses yang berat bagi manajerial pada kualitas yang belum pasti skornya seimbang dengan mekanisme yang berhubungan dengan hasil yang efektif. Pendekatan yang didominasi manajerial ini belum tentu mengakibatkan pembeli menjadi advokat konsumen. Masih ada keyakinan bahwa itu proses manajemenlah yang akan menjamin hasil yang berkualitas. Mungkin karena hal itu masih menjadi konflik kepentingan antara klien dan kontraktor di satu sisi dan di sisi pengguna.
Interpretasi dari hasil ini memunculkan pertanyaan, bagaimanapun temuan Bailey dan Davidson yang menyatakan bahwa petugas di sisi klien mengabdikan sebagian besar waktu mereka untuk input dan proses tidak selalu membuktikan adanya minat yang lebih rendah dalam output dan outcome. Memang, penelitian lain di UK menemukan bahwa peningkatan kualitas telah dihasilkan dari CCT karena pemerintah setempat dipaksa untuk meninjau layanan dan meningkatkan standar pengawasan, sekarang secara eksplisit ditentukan dalam kontrak (Walsh dan Davis 1993). Hal ini menjadi bukti yang cukup kuat.
Pertama, hal tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang hanya diperoleh dari panel sebanyak 40 penguasa Inggris dengan mengesampingkan orang-orang di Skotlandia dan Wales. Kedua, data harus didasarkan pada kesan subjektivitas responden (pejabat dan politisi) selama wawancara (Walsh 1991). Oleh karena itu ada pencarian tersirat yang mengadopsi definisi dari kualitas dalam benak responden. ini menjadi tidak konsisten dengan pengakuan bahwa pengguna harus dilibatkan dalam penilaian (Stewart dan Walsh 1991.p.14).
Kemungkinan terjadi jawaban bias yang kuat dari responden akan tetapi tidak boleh diabaikan. Sementara itu akan tidak realistis mengharapkan petugas dan manajer untuk mendapatkan kebenaran, pertama kali yang mereka alami akan enggan untuk mengakui bahwa kualitas pelayanan belum secara luas dipertahankan, karena dengan mengakui bahwa keburukan itu mungkin akan menunjukkan kegagalan dalam pemenuhan sasaran strategis layanan. Kegagalan untuk mengamankan standar kualitas bisa berhubungan dengan mekanisme sistem jaminan kualitas (kuesioner pra-lelang, spesifikasi kontrak, pemantauan dan pengaturan untuk tindakan perbaikan) atau pendekatan broider untuk perusahaan dan konsepsi kualitas.
Bukti obyektif lebih sulit ditemui pada standar yang diperkenalkan di hadapan CCT, hanya saja kualitas tidak dimonitor secara aktif (Walsh dan Davis 1993). Standar yang diam-diam tidak tertulis. Setelah pengenalan CCT mempersiapkan sifat yang sangat rinci. Membiarkan dan mengawasi kontrak adalah pekerjaan yang sebagian besar dipimpin oleh pegawai. Politisi lokal biasanya hanya menetapkan  pedoman yang sangat umum. Memiliki sedikit Keterlibatan dan biasanya menerima rekomendasi dari komite layanan klien sesuai dengan posisi mereka (Walsh 1991).
Tujuan standar tertentu tidak dapat ditulis pada kontrak. Bahkan kualitas bisa saja efektif dioperasionalkan dalam kontrak awal, tetapi belum tentu terjadi pada kualitas yang telah diamankan karena adanya kasus saat standar tidak tercapai. Pemantauan yang efektif dan tindakan perbaikan yang cepat sangat penting dalam kasus-kasus seperti itu, tetapi tidak dibantu oleh penemuan informasi di sisi klien yang biasa terlihat buruk dan sisi klien sering kali tidak memiliki keahlian dalam keterampilan manajemen.
Ketiga, bukti yang ditemukan oleh Walsh dan Davis yang berkaitan hanya pada beberapa tahun pertama dari rezim CCT (sebelum tahun 1993) dimana adanya insentif keuangan untuk pemotongan biaya yakni dengan mengurangi kualitas bisa bertahan di luar tanggal tersebut. Menurut Gaster (1995b, p, 132) satu hal yang pasti sebuah program yang berkualitas membutuhkan waktu yang lama, minimal tiga sampai lima tahun.
Oleh karena itu, terlihat hasil pada penelitian Walsh dan Davis mengenai pemeliharaan kualitas yang terbaik sangatlah profesional. Peringatan yang sama ini juga berlaku pada survei terbatas pada  sembilan pemerintah daerah dan dua belas otoritas kesehatan pada tahun 1989 dan 1990 (sebelumnya biasanya melibatkan otoritas bendahara atau wakilnya) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar kontrak (113 dari 199) kualitas secara umum dipertahankan (Mc Guru 1995. p. 421).
Sentimen mengenai kebutuhan untuk pelibatan pengguna jasa selama periode waktu yang panjang dibagi oleh Audit Commission. Pada tahun 1992 -1993 komisi bawah mengambil pekerjaan lapangan secara detail pada 13 pemerintah Inggris serta kunjungan singkat kepada sejumlah biarawati tertentu di otoritas lain, dan 40 sampel pada otoritas lain  melalui kuesioner  yang menggunakan aspek sisi klien. Mereka juga berkonsultasi dengan badan-badan profesional yang relevan. Sambil menyimpulkan bahwa banyak pemerintah daerah terus memberikan layanan yang berkualitas baik di tempat lain.
Kegagalan sistem menjadi salah satu penyebab kegagalan untuk melibatkan konsumen dalam pelayanan di  dalam proses kontrak. Di dalam kewenangan yang dikelola masyarakat umum, kepala sekolah atas nama sekolah, siswa dan orang tua mereka, pihak penyewa perumahan dan konsumen yang lain dari pelayanan yang diberikan oleh pihak kontraktor memegang peranan penting dalam spesifikasi dan pengawasan kontrak, (Audit Commission 1993, p.1).

Pengekspresian Suara Jelas Penting dalam Menjamin Kualitas Layanan (Lihat Bab 3 Dan 4)
Domberger dan Hensher (1993) juga menemukan bahwa jika ada kualitas yang telah meningkat, peningkatan tersebut tidak terbatas hanya pada layanan yang tergantung pada CCT, Sebuah survei mengenai opini publik yang disponsori pemerintah menjumpai mayoritas responden berpendapat bahwa 28 standar pelayanan publik telah meningkat untuk dipertahankan selama tahun sebelumnya (Penelitian ICM 1993). Peningkatan tersebut tampaknya merupakan hasil dari inisiatif lokal dan pengaruh yang lebih umum dibandingkan CCT, dan tidak hanya dari Citizen’s Charter (Pollitt 1994), tentu saja dengan manfaat yang sudah ada. Walsh (1995 p. 239) sebagai catatan kualitas layanan telah menjadi konsep yang umum dalam pembahasan perubahan dalam manajemen pelayanan publik.
Rao dan Young (I995) menyatakan bahwa sekarang ini manajer melihat layanan dari perspektif pengguna dan masyarakat bukan semata-mata dari sudut pandang mereka sendiri sebagai provider. Namun penelitian ini juga sangat terbatas pada wawancara secara langsung kepada pejabat dan anggota dewan, hanya pada sepuluh dewan Di Inggris, Wales dan Skotlandia. Para penulis menjelaskan hasil mereka sebagai kesan kualitatif (ibid. hal. 1). Pada kenyataannya, khususnya dalam hal CCT, Davies dan Hilton (1993) menemukan bahwa minat kualitas hasil atau inisiatif utama adalah pada petugas yang dipimpin (bukan anggota dewan yang dipimpin). ini adalah studi seorang pilot pada skala kecil yang terbatas hanya di bagian utara-barat Inggris dan di Wales bagian utara, sehingga hasilnya juga harus diperlakukan dengan hati-hati.
Hasil penelitian Bailey dan Davidson juga menunjukkan bahwa, meskipun keterlibatan anggota terpilih pada setiap pendekatan kualitas, tetapi sebagian besar juga ditentukan oleh petugas klien dan departemen. Pengguna layanan memiliki sedikit keterlibatan dalam penentuan dan pengawasan standar kontrak di putaran pertama CCT. Secara khusus, ditemukan bahwa standar teknis (seperti pembetulan kesalahan, prosedur pengaduan, waktu respon serta isu-isu kesehatan dan keselamatan) lebih sering ditentukan dari pada standar non-teknis (seperti output layanan dan hasil yang diharapkan). Standar yang bersifat non-teknis kurang bisa menerima spesifikasi yang tepat dan bahkan kurang bisa menerima pengawasan (LGMB 1995). Seperti yang telah disebutkan di atas, penekanan pada proses tidak seimbang oleh mekanisme yang berhubungan dengan hasil yang efektif. Terutama peran pengguna jasa atau yang mengajukan keluhan terhadap peran negatif dan reaktif yang sangat terbatas sesuai dengan peran mereka dalam menentukan standar. Implikasi yang jelas adalah pembeli memantau apa yang dapat dimonitor bukan apa yang harus diawasi (lihat Bab 5). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana petugas klien dan pejabat lain yang diidentifikasi dalam penelitian sebelumnya bisa begitu yakin bahwa standar layanan itu tetap konstan atau meningkat.
Penilaian kembali terhadap Purchaser-Provider SPLIT
Mungkin tidak mengherankan bahwa pemerintah daerah di Inggris terus fokus utama pada input dan proses. Pertama, kualitas output akhirnya tergantung pada kualitas input dan cara salah yang mereka gunakan dalam rangka memberikan layanan. Kedua kualitas output dan outcome yang sulit diukur. Khususnya bagi layanan white-collar dan layanan yang profesional. Spesifikasi standar untuk outputs dan outcome mungkin parsial atau tidak lengkap dan mungkin lebih mudah untuk menentukan standar untuk input dan proses. Dalam kasus tersebut, cara lain harus dibuat untuk menilai kualitas input dan proses untuk mendapatkan penilaian yang lebih komprehensif dan berkualitas. Ketiga, pemerintah daerah mungkin ingin mengurangi risiko terjadinya kualitas interior output atau outcome karena konsekuensi keuangan dan sosial politik. Oleh karena itu mereka akan mengamankan input dan kualitas proses untuk mengurangi risiko tersebut.
Pemerintah daerah adalah pembeli yang secara alami waspada terhadap kecerobohan provider yang terlalu bertele-tele dalam memutuskan cara terbaik dalam pemenuhan kebutuhan layanan otoritas, baik dalam hal pengurangan biaya dan praktek inovatif. Oleh karena itu, lebih sering pada persoalan keseimbangan yang tepat dari spesifikasi kualitas input, proses, output dan outcome. Alasan ini untuk menekankan pada input dan proses yang berfungsi untuk memenuhi persyaratan bimbingan pemerintah UK bahwa sedapat mungkin spesifikasi kualitas harus berhubungan dengan output.
Memang, LGMB merekomendasikan bahwa pihak yang berwenang setempat memeriksa kompetensi dan kualifikasi staf yang dipekerjakan oleh kontraktor. Karakteristik ini dapat dinilai dengan mewajibkan perusahaan yang ingin mengajukan tawaran pada kontrak untuk mengisi kuesioner pra tender. Kuesioner tidak perlu detail dengan penekanan yang berlebihan pada spesifikasi input dan proses yang mungkin dianggap anti kompetitif. Hal ini khususnya terjadi bagi mereka dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dalam hal non-komersial seperti kondisi kerja staf atau afiliasi politik. Sebaliknya, rincian kualifikasi pendaftaran staf pada badan-badan profesional, kebangkrutan, tindak pidana, jaminan asuransi profesional, pengalaman dengan kontrak yang sama, sistem manajemen mutu seperti TQM (lihat Gambar 3.4) dan ISO 9000 (lihat studi kasus di bawah), dan hal-hal lain yang penting bagi pengiriman dan kualitas layanan menjadi perhatian yang sah.
Secara umum, pendekatan yang optimal untuk mengamankan kualitas dan kuantitas yang diperlukan dalam pelayanan akan cenderung Vary antara pemerintah daerah dengan keadaan yang berbeda (misalnya ukuran dan ruang lingkup kontrak dan tujuan layanan) dan dalam pemerintah daerah untuk layanan yang berbeda. Namun, tidak mungkin pemerintah daerah akan menetapkan standar untuk input, proses, output dan outcome tanpa mengacu pada kemampuan potensial kontraktor.

Apakah purchaser-provider split mengamankan nilai terbaik?
Hal ini dipertanyakan apakah Purchaser-Provider Split diperlukan untuk mendapatkan nilai terbaik dalam upaya mendapatkan uang dan apakah kompetisi adalah cara terbaik dimana perpecahan dapat dioperasionalkan. Telah dikemukakan bahwa Purchaser-Provider Split telah mengakibatkan duplikasi, perpecahan dan hubungan permusuhan dalam pemerintah daerah (antar departemen, antara pembeli dan penyedia, antara manajer senior dan Pekerja front-line) sehingga terjadi ketidakjelasan bahwa reorganisasi di sepanjang garis pasar lebih efektif dari pada hierarki dalam pemberian pelayanan publik (Lewis et al.1996).
Poin terakhir ini secara eksplisit telah diakui oleh pemerintah pusat Inggris dalam laporannya tentang persaingan kualitas (Cabinet Office 1996). Meskipun laporan terakhir terkait subjek layanan pemerintah pusat untuk kontraktor yang kompetitif, kesimpulan umum juga berlaku untuk pemerintah daerah karena banyak dari jenis layanan yang sama-sama terlibat. Dalam menemukan sumber utama penghematan biaya adalah cara kerja baru, terlepas dari apakah layanan yang disediakan oleh organisasi swasta atau tim in-house, itu menyimpulkan bahwa keraguan pada anggapan luas bahwa sektor swasta mampu membawa efisiensi dalam sektor publik (Ibid p.8, para 3.18).
Oleh karena itu Laporan tersebut merekomendasikan selektivitas yang lebih besar dalam penggunaan persaingan untuk mengamankan penghematan biaya, jawabannya adalah mungkin untuk meningkatkan manajemen bukan keluar dari kontrak (ibid.p.17, para.3053). Penghematan biaya lain muncul dari pengamanan skala ekonomi. Proses layanan Re-Engineering memberikan fleksibilitas yang lebih besar pada tim in-house untuk menyarankan pendekatan yang lebih efektif pada biaya layanan pengiriman. Menghindari kontrak layanan yang tidak terlalu kecil dan tentu saja menjamin kompetisi yang memadai. Meskipun demikian, persaingan harus tetap dinilai dengan mekanisme lain untuk mencapai perbaikan nilai uang atau sifat kegiatan, kemampuan pasar dan pendekatan terbaik yang ditentukan berdasarkan kasus per kasus (ibid, hal.17, para .3.49).
Khusus pada pemerintahan daerah, hubungan permusuhan dan perpecahan serta motivasi karyawan dapat dihindari dengan pengaturan twin-hatted yang memfasilitasi tujuan yang sama dan kolaborasi antara pembeli dan penyedia. Meskipun demikian, persaingan antar departemen yang diciptakan oleh perpecahan jelas dapat menghambat pengembangan kerjasama dan kemitraan (Rao dan Young 1995). Oleh karena itu, bertentangan dengan argumen bahwa kekurangan dalam persaingan antar departemen yang disebutkan di atas, menjadi dampak utama pada strategi kebijakan yang mungkin agak lebih rumit (lihat shaw et al 1993).
Kolaborasi, partisipasi dan kerjasama mungkin lebih efektif dari pada kekuatan pasar, misalnya di mana para pekerja merasa memiliki proses internal dari pada proses eksternal. Terlebih lagi dalam banyak kasus, berada pada sektor non-profit, Provider tidak termotivasi oleh keuntungan dan pengguna jasa memiliki sedikit ruang dalam menentukan pilihan. Kedua karakteristik ini bertentangan dengan pasar swasta yang kental dengan teori. Kolaborasi juga mungkin lebih murah dari pada kontrak yang kompetitif terutama dalam hal biaya pelaksanaan kontrak tender dan rezim pengawasan. Rezim yang digunakan untuk pengadaan barang publik mungkin tidak mudah diadaptasi dalam penyediaan layanan sosial pribadi seperti pengumpulan sampah rumah tangga. Masukan lebih formal, biaya transaksi yang mungkin jauh lebih besar (atau profesional dari pada layanan manual (lihat Tabel 13.1).
Pertimbangan lain yang dipimpin pemerintah Inggris mengumumkan bahwa mereka berniat untuk menggantikan rezim CCT dengan Best Value Regime yang lebih komprehensif (DOE 1997). Best Value Regime tidak hanya akan peduli dengan ekonomi dan efisiensi, tetapi juga dengan efektivitas dan kualitas pelayanan pemerintah daerah. Rezim baru ini akan membahas efektivitas biaya (didefinisikan dalam Bab 13) dan akan mencakup semua layanan pemerintah daerah, bukan hanya tentang mereka yang sebelumnya tunduk pada CCT.
Akan terus menjadi anggapan yang jelas bahwa dalam persaingan secara terbuka terdapat provider potensial lainnya di pasar. Otoritas lokal harus menunjukkan persaingan harus sesuai dengan situasi tertentu. Oleh karena itu, sementara persaingan ketat akan terus menjadi bagian yang penting dari rezim baru, maka tidak akan lagi menjadi satu-satunya cara dalam mengamankan nilai uang.
Akibatnya, harus diganti dengan voluntary competitive tendering (VCT) dalam kerangka permisif yang menekankan pilihan lokal dan akuntabilitas lokal (yaitu suara) dari pada pusat. Hal ini sedang diperpanjang dalam kegiatan pemerintah daerah lainnya termasuk manajemen perumahan kota. Jasa profesional yang terkait dengan konstruksi (teknik arsitektur dan manajemen jasa properti), jasa komputasi hukum, jasa keuangan, jasa pribadi dan administrasi perusahaan. Meskipun Best Value Regime masih berkembang pada saat buku ini di tulis (I995 awal). Ada kemungkinan bahwa Purchaser-Provider Split akan dipertahankan untuk aspek penyediaan layanan pemerintah daerah. Best Value menyoroti kebutuhan bagi otoritas lokal untuk menghasilkan informasi yang berarti dan kuat agar orang-orang yang membayar untuk manfaat layanan mereka bisa juga untuk menilai kinerja. Seperti yang ditunjukkan oleh studi kasus di bawah ini, rezim CCT umumnya telah gagal dalam melibatkan pengguna jasa dalam spesifikasi serta standar pengawasan pelayanan. Jika memiliki ekspektasi seperti itu, maka Best Value Regime akan mengalihkan fokus lebih ke arah output dan outcome sehingga bisa mengatasi fokus yang berlebihan pada input dan proses di bawah rezim CCT.
Sebuah Studi Kasus Kualitas Layanan
Banyak poin yang secara umum telah dianalisis di bagian atas, baik dalam Bab ini dan bab 13 yang  digambarkan dengan mempelajari dampak dari kontrak yang kompetitif pada kualitas dua layanan: manajemen olahraga dan rekreasi serta katering. Studi kasus tersebut sangat sulit diapresiasi  dari keseluruhan aspek Purchaser-Provider Split, termasuk tender yang kompetitif dan kualitas layanan.

Studi Kasus I: Manajemen Olahraga dan Rekreasi
Manajemen Olahraga dan rekreasi adalah studi kasus yang sangat menarik dibandingkan dengan layanan lain yang ada di bawah CCT, manajemen tersebut memiliki variasi yang lebih besar dan membutuhkan fleksibilitas yang besar pula. Hal ini membuat evaluasi tender pada kontrak yang bermasalah dan membutuhkan elemen yang lebih besar untuk negosiasi antara klien dan kontraktor tentang karakteristik layanan termasuk juga persyaratan untuk meng-upgrade fasilitas modal baik sebelum atau selama kontrak. Oleh karena itu kontraktor akan muncul dengan memiliki rentang yang lebih dalam hal operasional sehari-hari dan lebih ada potensi transaksi biaya yang tinggi (lihat bab 13).
Diskusi umum tentang jenis olahraga dan fasilitas rekreasi yang disediakan oleh otoritas lokal yang tersedia di tempat lain (Bailey et al 1993). Karakteristik yang paling relevan adalah bahwa manajemen olahraga dan rekreasi sama-sama bersaing untuk mendapatkan pelanggan, karena keduanya memiliki pilihan dalam menggunakan (biasanya membayar) layanan, seperti pembayaran jasa kebersihan.
Undang-undang CCT mendefinisikan layanan sebagai pengelolaan pusat manajemen olahraga, lapangan golf, kolam renang dan sebagainya. Data LGMB menunjukkan bahwa 56 persen kontrak manajemen olahraga dan rekreasi sampai dengan tahun 1995 diberikan tanpa adanya kompetisi, hal itu juga terjadi pada manajemen katering (pendidikan dan kesejahteraan). Rata-rata jumlah tawaran per kontrak kurang dari dua. Namun, sebagaimana yang telah dicatat, jumlah penawar ini tidak akurat dalam mengukur tingkat kemampuan kontes. Mungkin ada banyak penawar potensial yang benar-benar melakukan penawaran karena mereka sudah tahu bahwa DSO beroperasi secara efisien. Di sisi lain mungkin diperlukan waktu yang cukup bagi sektor swasta untuk mengembangkan agar bisa berkompetisi dalam kontrak. Meskipun demikian hal itu menjadi ancaman persaingan dari sejumlah penawar. Adanya persaingan tersebut mendorong DSO untuk meningkatkan efisiensi operasional mereka.
Angka LGMD juga menunjukkan bahwa lebih dari empat-lima (non-franchise) masih bekerja bagi  layanan in-house (91 persen dengan value dan 85 persen dari kontrak tahun 1995). Dengan kata lain, kontrak ini adalah normal (lihat Gambar 4.2). Tingkat keterbatasan kontrak untuk layanan ini dan untuk layanan lainnya yang tunduk pada CCT menunjukkan bahwa realisasi skala ekonomi oleh salah satu kontraktor memegang berbagai macam kontrak kecil yang akan menjadi signifikan hanya dalam waktu yang relatif pendek di pemerintah daerah (lihat chapter2).
            Rata-rata nilai kontrak hanya di bawah 1O.5 juta per tahun 1995, biasanya pada biaya manajemen dasar. Audit Commission (1993) memperkirakan bahwa biaya sisi klien rata-rata 1,5 persen dari total pengeluaran tahunan terendah kedua dari rata-rata di sisi klien  setelah katering (pendidikan dan kesejahteraan). Diduga karena  alasan yang sama dengan sebuah serangan serupa keterlibatan  efektif pengguna (lihat Studi kasus 2 di bawah).
Pengawasan harian atau mingguan dari kontraktor (dua-pertiga dari otoritas lokal) dan kedua kegiatan rutin (sebagai lawan responsif) pertemuan dengan kontraktor (dua pertiga) dan penggunaan sistem manajemen mutu (a firth ) untuk monitoring fasilitas terbaik dalam layanan ini. Sejumlah 59 persen dari pemerintah memiliki prosedur keluhan pelanggan di tempatnya. Namun, untuk sementara  manajemen olahraga dan rekreasi  memiliki sistem pengawasan yang paling berkembang dan beragam, hanya menggunakan 7 persen teknik pengambilan sampel pelanggan. Hanya seperlima dari pemerintah memiliki persyaratan kontrak bahwa kontraktor mencapai sertifikasi di bawah BSEN ISO 9000.
Walsh dan Davis (1993) menemukan bahwa di antara 40 panel dari pemerintah Inggris, ada kecenderungan untuk spesifikasi lingkungan dalam kontrak pada dua bagian yang pertama menyatakan secara umum posisi otoritas secara filosofis dan strategi (misalnya, orang berbasis rekreasi, bukan olahraga elit dan keunggulan olahraga), rincian spesifikasi kedua menyediakan untuk program, peralatan, staf dan sebagainya. Oleh karena itu, menjadi layanan yang kompleks dan keahlian dan pengetahuan yang terperinci dari kontraktor. Masih ada lagi kecenderungan dalam manajemen rekreasi dari pada pada layanan lain untuk meminta kontraktor menafsirkan kondisi kontrak dalam kasus ini tidak mungkin menemukan definisi yang tepat. Selain itu, tanggung jawab utama dalam pemasaran adalah program dan fasilitas, serta untuk pengembangan layanan bertumpu pada pihak kontraktor.
Semua otoritas panel Walsh dan Davis mengadopsi kekurangan dalam jaminan kontrak, biasanya dengan berbagi pendapatan atau bagi hasil (lihat Bailey 1995, ch. 15 untuk pembahasan lengkap dari berbagai jenis kontrak), ini berarti bahwa otoritas klien menutupi biaya hutang dan biaya pemeliharaan gedung serta membayar jasa manajemen kepada kontraktor. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab 13, hal ini untuk meningkatkan kemampuan lomba dengan mengurangi biaya masuk yang tinggi dan menghapus biaya tinggi  untuk jalan keluar. Kontraktor menjumpai biaya lain dan mempertahankan pendapatan dari retribusi sesuai dengan kesepakatan mengenai bagi hasil untuk keuntungan klien. Pengaturan ini meminimalkan risiko untuk klien dan menyediakan insentif bagi kontraktor untuk meningkatkan tingkat penggunaan yang ada. Memang, bagaimanapun, memerlukan pengawasan keuangan yang cukup intensif (meskipun hal ini dibantu oleh sistem).
Walsh dan Davis (1993) menemukan bahwa proporsi pekerjaan diperiksa lebih dari dua kali lipat dari 15 persen sebelum CCT hingga 40 persen setelahnya (dibandingkan dengan peningkatan untuk semua layanan dengan angka 24-42 persen). Karena sifat dari layanan, pengawasan dirasa memerlukan campuran aktivitas seorang generalis dan spesialis.
Manajemen olahraga dan rekreasi memanfaatkan sampling statistik yang relatif luas. Penggunaan komputer pada khususnya untuk memantau aspek keuangan kontrak.  Mereka juga melakukan pemantauan sistematis dalam pandangan pengguna yang berarti bahwa ada keterlibatan masyarakat untuk memantau dalam hal manajemen olahraga dan rekreasi. Ini menggambarkan suasana politik desentralisasi melalui konsultasi yang dapat melengkapi desentralisasi ke pasar (lihat Gambar 4.2). Walsh dan Davis menemukan bahwa 78 persen dari panel otoritas menggunakan public surveys, 35 persen memanfaatkan  user complaints, 19 persen menggunakan user panels, dan 11 persen telah membentuk user consultative committees untuk layanan. Namun, Wheeler dan Richards (1993) berpendapat bahwa adanya penyebaran  tindakan-tindakan kinerja  non-keuangan menjadi sangat sulit, jadi bukan tidak mungkin untuk mengawasi efektivitas kebijakan pembangunan olahraga.
Layanan tersebut harus tegas berdasarkan strategi dalam pemerintah daerah. Kontrak manajemen olahraga dan rekreasi  mencakup  otoritas sikap politik yang diterapkan pada kebijakan rekreasi. Sikap politik itu mungkin berhubungan dengan pertimbangan ekuitas dalam distribusi layanan output  antar kelompok yang berpendapatan tinggi dan rendah. Hal ini juga mungkin berhubungan dengan pertimbangan efisiensi dalam olahraga yang tidak baik uang dimiliki pribadi secara  murni tetapi sebaliknya, menunjukkan eksternalitas yang positif (dan karakteristik jasa yang baik) dalam hal meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Namun ada beberapa kekhawatiran bahwa perpecahan kontraktor klien  akan mengakibatkan perpecahan dari layanan, dan juga  penurunan departemen spesialis rekreasi yang berdiri sendiri akan berarti hilangnya tenaga terampil dan berpengalaman. Dalam hal ini pihak yang berwenang akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengembangkan olahraga dan strategi rekreasi. Hal ini menggambarkan pengetahuan keterampilan embeddedness (lihat Bab 13).
Penelitian di awal 1990-an oleh Dewan Olahraga menemukan bahwa kurang dari setengah dari otoritas lokal memiliki strategi rekreasi secara umum dan hanya sepertiga olahraga dan rekreasi yang memiliki strategi khusus. Kebijakan pembangunan olahraga jarang disertai dengan target yang spesifik dan terukur. Oleh karena itu, kontraktor diberi parameter kebijakan dalam bekerja. Dalam kebanyakan kasus otoritas klien lokal  tidak mampu untuk mengawasi output dan tidak dapat menentukan apakah kebijakan  benar-benar dilaksanakan serta tujuan dapat tercapai. Hal ini menggambarkan rasionalitas  yang terbatas (lihat Bab 13).
Awalnya kontrak biasanya disusun oleh grup-grup kecil dari pegawai rekreasi yang profesional (pada kedua sisi klien dan kontraktor), beberapa kali dibantu oleh konsultan dan mengikuti saran dari asosiasi pemerintah daerah dan badan-badan seperti lembaga rekreasi  dan pengelolaan fasilitas (Walsh dan Davis 1993). Ketergantungan pada penggunaan yang  profesional terjadi  karena tidak adanya kebijakan tertulis secara eksplisit dalam sistem informasi manajemen yang memadai (termasuk basis data). Memang, kurangnya tinjauan strategis dari layanan selama persiapan kontrak tampaknya telah menjadi aturan bukan pengecualian (Nicholls 1995a). Hal ini menimbulkan kesulitan tertentu terhadap petugas klien dan orang lain ketika menyusun spesifikasi kontrak, misalnya bagaimana program dan harga yang dipromosikan dalam pencapaian tujuan layanan.
Seperti yang tergambar dari 12 sampel otoritas departemen rekreasi lokal, Nicholls menunjukkan bahwa, dalam menciptakan peran baru dari  petugas klien, CCT telah memperkenalkan stakeholder yang kuat (didefinisikan dalam Chapter 13) untuk konteks kebijakan dan layanan rekreasi. Petugas baru tersebut bisa memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menentukan arah layanan melalui spesifikasi kontrak. Mereka juga bisa mempengaruhi keputusan masa depan keputusan melalui disipasi informasi baru yang dikumpulkan selama fungsi pengawasan mereka (Nicholls 1995.p.52). Ini adalah harapan, karena menurut penelitian Nicholls, intervensi anggota dewan kepada mereka yang tidak memiliki keahlian teknis, ada waktu yang cukup bagi mereka untuk menjadikan kontrak secara penuh pada tender dan mereka lebih peduli dengan siapa yang memenangkan kontrak (lebih memilih DSO untuk menang dari pada kontraktor swasta) dibandingkan dengan siapa yang tepatnya berada di dalamnya.
Sementara itu lebih sulit bagi non-spesialis untuk terlibat di dalamnya. Banyak kontrak yang dibuat ketentuan untuk riset pasar dan untuk meningkatkan keterlibatan user melalui ucapan, pertemuan tahunan terbuka secara umum dan atau user surveys, serta sistem pengawasan informal. Tindakan tersebut diduga dibuat oleh user terbukti adanya fakta pembayaran untuk layanan dan alternatif yang ada. Dalam hal ini, user  memiliki tagihan exit as well as voice (lihat Chapters 3 dan 4). Oleh karena itu pelayanan harus responsif terhadap pelanggan. Yang dikhawatirkan adalah kebutuhan selama periode kontrak untuk memastikan perkembangan layanan sebagai respon terhadap perubahan selera dan tuntutan, selalu disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Spesifikasi kontrak statis dapat menghambat evolusi layanan responsif kepada pelanggan.
Namun, Nicholls (I995a) berpendapat bahwa petugas klien secara selektif bisa memberi peluang anggota dewan informasi dalam rangka mempengaruhi keputusan mereka pada isu-isu tertentu (yang berbeda dengan tingkat tinggi dalam pengambilan keputusan). Pengaruh tersebut terkendala karena petugas klien bertindak sebagai bagian dari perusahaan pusat bersama dengan kepala petugas rekreasi dan mungkin komite rekreasi. Namun peningkatan frekuensi anggota dewan yang bertemu dalam komite dan peningkatan volume informasi itu berarti petugas klien dapat mengarahkan pengaruh yang lebih besar pada pengembangan strategi layanan. Hal ini konsisten sesuai dengan Niskanen’s model of bureucracy  tentang birokrasi dan kerangka analisis Public Choice (lihat bab 5, 11 dan 13).
Selain kemungkinan distorsi petugas klien atau tujuan layanan melalui penggunaan informasi secara selektif, Nicholls (I995b) berpendapat bahwa sulit untuk merancang kontrak yang memastikan perilaku kontraktor untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Spesifikasi kontrak yang cukup fleksibel untuk memungkinkan layanan beradaptasi terhadap perubahan permintaan masyarakat (misalnya untuk kelas aerobik sebagai langkah pengurangan pengangguran) membutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi, oleh karena itu tingkat rasionalitas yang tinggi dibatasi sesuai dengan kebutuhan layanan di masa depan, bersama-sama dengan ruang yang cukup untuk para oportunis di bagian kontraktor karena keberagaman sifat layanan yang ditentukan dalam kontrak. Oleh karena itu, ada trade off antara kebutuhan untuk spesifikasi kontrak yang fleksibel dan kebutuhan untuk membatasi ruang lingkup perilaku kontraktor yang oportunistik.
Perilaku oportunistik dapat terjadi pada tahap pra kontrak tender yakni mengajukan tawaran realistis (untuk pembayaran pengelolaan layanan). Jika berhasil maka akan terjadi seleksi yang merugikan (yaitu kutukan bagi pemenang lihat Bab 13). Kontraktor tersebut bisa mengeksploitasi spesifikasi kontrak yang fleksibel untuk mengurangi biaya manajemen, misalnya mempekerjakan staf yang kurang memenuhi syarat. Namun, yang harus dilihat insentif jangka pendek tersebut harus diimbangi dengan insentif jangka panjang yang berkaitan dengan perpanjangan kontrak dari pihak kontraktor untuk memberikan kualitas layanan yang baik sesuai dengan semangat yang berbeda dengan surat kontrak. Hal ini paling utama  paada kasus kontraktor telah berinvestasi dalam fasilitas modal yang tidak mereka miliki.
Implikasi kebijakannya adalah pemerintah daerah harus mencari investasi modal bagi kontraktor (untuk menciptakan aset di sisi kontraktor, menyeimbangkan di sisi klien) dan batas waktu kontrak (untuk mengantisipasi datangnya ancaman persaingan). Periode kontrak yang lebih pendek juga memfasilitasi respon yang cepat untuk pembelajaran bagi klien dengan pengalaman dan pengembangan pasar, kontraktor mungkin akan mendukung kontrak lama dengan investasi yang terbatas, DSO (tidak seperti perusahaan swasta) tidak memiliki akses kepada investasi pembiayaan. Kualifikasi ini belum tentu meniadakan kebutuhan untuk memperketat spesifikasi surat kontrak sehingga mengurangi ruang untuk perilaku oportunistik kontraktor. Nicholls (l995b) berpendapat bahwa pemerintah lokal yang kecil akan menghadapi kesulitan tertentu dalam hal ini karena mereka memiliki petugas khusus yang lebih sedikit untuk bekerja sesuai spesifikasi kontrak. Otoritas tersebut mungkin memiliki konsultan untuk mencapai tujuan tersebut.
Kunci hubungan dalam konteks ini adalah antara petugas klien dan Kontraktor (misalnya manajer DSO), salah satu yang Nicholls gambarkan sebagai investasi taktis jangka panjang dalam hubungan kontrak (jika tidak altruisme). Kedua belah pihak yang berasal dari nilai ekonomi bisa melestarikan kontrak. Pada akhirnya, mereka harus memiliki hubungan kerja yang baik sama lain jika menginginkan pelayanan yang berkualitas yang diberikan sesuai dengan semangat kontrak sehingga kemungkinan perpanjangan kontrak akan meningkat. Seperti hubungan kerja yang telah diperbaiki dalam kontrak yang telah disusun oleh kelompok-kelompok profesional kecil dalam rekreasi pada sisi klien dan sisi kontraktor.
Penyediaan pelayanan yang berkualitas dapat menyebabkan akumulasi modal politik yang juga dapat meningkatkan peluang keberhasilan dalam penawaran untuk sumber daya tambahan dalam layanan ini dan untuk kontrak yang akan dinegosiasi ulang dengan kesepakatan bersama. Insentif tersebut secara substansial bisa berkurang jika salah satu kontraktor tidak mengharapkan atau menginginkan perpanjangan kontrak, manajer DSO yakin bahwa ada kebutuhan untuk menjaga persaingan di masa depan, baik karena otoritas lokal atau adanya kontraktor yang menentang faktor eksternal. Ruang lingkup oportunisme meningkat dalam kasus tersebut. Mengingat secara umum proses manajemen telah diperbaiki bisa diterima, pada setiap pos transaksi biaya CCT harus dibandingkan dengan organisasi slack (ketidakefisienan) yang ada sebelum CCT (lihat bab 5).

Kesimpulan Kompetisi pada manajemen olahraga dan rekreasi
Singkatnya, manajemen olahraga dan rekreasi ini merupakan studi kasus yang menggambarkan perlunya pertimbangan terhadap bentuk kelembagaan dan sifat kontrak (termasuk pembagian pendapatan atau keuntungan), ketika mempertimbangkan tingkat validitas ekonom neoklasik yang berpendapat bahwa persaingan selalu meningkatkan efektivitas biaya (meningkat kualitas atau pengurangan biaya). Hal ini jelas bahwa kontrak manajemen olahraga dan rekreasi harus mencapai keseimbangan yang memuaskan terhadap sejumlah kriteria yang berpotensi bertentangan: Tujuan otoritas sosial adalah keuangan yang obyektif dari kontraktor, tuntutan perubahan kebutuhan pengguna untuk mempertahankan kemiripan persaingan yang efektif melalui adanya peningkatan persaingan yang akan meningkatkan kualitas layanan. struktur governance adalah faktor yang sangat penting.

Studi kasus 2: Katering makanan sekolah
Layanan makanan sekolah telah mengalami perubahan substansial selama tahun 1980, sebelum pengenalan CCT (Audit Commission 1993; Walsh dan Davis1993). Nilai kontrak tahunan rata-rata dalam layanan ini adalah 1,7 juta pada tahun 1994, setengah dari kontrak saat ini telah dimenangkan tanpa persaingan dari perusahaan katering swasta (LGMB 1994). Rata-rata jumlah tawaran per kontrak kurang dari dua, pemerintah daerah memiliki organisasi pelayanan secara langsung (DSO) memenangkan 75 persen dari nilai kontrak 85 persen.
Meskipun secara umum kurangnya kompetisi pada kontrak dalam manajemen olahraga dan kompetisi untuk pelanggan (dalam hal ini outlet makanan di luar sekolah). Sekali lagi seperti manajemen olahraga dan rekreasi, kontraktor memiliki insentif untuk menarik pelanggan dan meningkatkan penjualan karena memiliki efek positif pada pendapatan. Oleh karena itu, semakin penting untuk mempertimbangkan persepsi konsumen, baik karena sekolah telah meningkatkan otonomi dalam mengelola anggaran mereka sendiri (lihat bab 12) dan karena pembayara siswa bisa  ke tempat lain. Pandangan mereka bisa diharapkan untuk berhubungan dengan spesifikasi kontrak dan monitoring. Dibantu dengan penyediaan informasi yang efektif dan penggunaan yang efektif dari sistem complaint dan penampungan saran. Pada tahun 1980 pendidikan di Inggris memberi otoritas pendidikan lokal (Kurang) kontrol atas tuduhan dan standar gizi untuk makanan yang disajikan di sekolah mereka. Oleh karena itu mengubah keseimbangan kekuasaan antara berbagai kelompok pemangku kepentingan. Siswa di sekolah hanya salah satu dari sejumlah pemangku kepentingan, termasuk ahli gizi (yang menggunakan kriteria ahli untuk akses kualitas makanan). Komentator kebijakan sosial (yang berpendapat bahwa makanan sekolah gratis merupakan instrumen kebijakan sosial yang mendukung keluarga yang berpenghasilan rendah), perbendaharaan Inggris (yang berkaitan dengan biaya pengeluaran publik dari makanan), serikat buruh (yang menyukai insentif tenaga kerja, makanan yang dimasak untuk pekerjaan proyek), orang tua siswa (yang mungkin menganggap makanan sekolah sebagai sarana yang berguna untuk menjaga anak-anak di sekolah sepanjang hari) dan murid (yang dapat diharapkan untuk menilai makanan dalam hal individu dari pada pilihan secara kolektif, terutama karena hal rasa dan model).
Akhirnya, kerangka kelembagaan menentukan jumlah dan berbagai pemangku kepentingan (lihat Bab 1.3) yang pandangannya diperhitungkan ketika mendefinisikan dan pengawasan kualitas. Definisi tersebut tentu dipengaruhi oleh kekuatan dari berbagai kelompok pemangku kepentingan, baik dalam hal daya beli atau kekuasaan politik.
Bahkan jika ahli gizi menganggap siswa dan orang tua mereka tidak kompeten dalam menilai makanan apa yang baik bagi mereka (yaitu makanan sekolah dianggap sebagai jasa yang baik), para siswa (bukan orang tua) memiliki pilihan apakah membeli dan kemudian menyantap makanan, membeli makanan tapi belum membuang, atau tidak membeli makanan sama sekali. Kedua kurangnya pelanggan dan sampah makanan mungkin menjadi langkah-langkah proxy kualitas pelayanan untuk dinilai oleh pengguna layanan utama.
Tahun 1980 Undang-Undang mengurangi pengaruh gizi dengan cara melakukan  persyaratan hukum untuk membayar sewa penyedia makanan yang dimasak secara tradisional seperti daging, dua jenis sayuran dan makanan penutup. Jenis makanan semakin tepat di sekolah yang multi etnis dan dalam selera makanan internasional (seperti pizzas, pasta dan beefburgers). Sebelum tahun 1967, Departemen Keuangan membayar kekurangan subsidi khusus untuk setiap sekolah yang menyajikan makanan. Namun, subsidi yang dimasukkan ke dalam block grant umum (lihat Bab 9) yang dibayarkan kepada pemerintah daerah agar sekolah menerima insentif yang lebih besar untuk mengadopsi gaya layanan kafetaria dengan makanan ringan (bukan makanan padat karya yang dimasak) untuk mengurangi biaya mereka. Selain itu, pada 1915, Departemen Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan mencatat bahwa standar gizi yang ditetapkan tidak sesuai dan  memungkinkan siswa untuk memilih dari menu sesuai dengan yang mereka inginkan (Rose dan Falconer 1992). Oleh karena itu, tahun 1980 Undang-Undang memperbolehkan menyediakan makanan ringan sebagai bagian dari layanan kantin. Anak-anak sekolah dapat memilih untuk membeli makanan ringan seperti biskuit dan minuman sebagai pelengkap makanan dari rumah yang dimakan di kantin. Oleh karena itu, siswa memiliki tingkat yang jauh lebih besar dari satu dekade yang lalu.
Lebih dari 4 juta makanan sekolah disajikan setiap hari di Inggris, lebih dari 1 juta anak yang menerima makanan gratis di 1995-1996 karena orang tua mereka memenuhi syarat untuk menerima bantuan pendapatan (pembayaran kesejahteraan negara). Jumlah anak yang memenuhi syarat memperoleh makanan sekolah gratis meningkat tajam selama awal 1990-an. Angka-angka ini memenuhi syarat adanya persepsi bahwa pelanggan membayar dikarenakan proporsi siswa benar-benar membeli untuk mendapatkan piala bergilir, terutama menurun secara drastis dalam beberapa economically-depressed LEAs. Ini menekankan implikasi kesejahteraan yang semakin penting dari makanan sekolah untuk kelompok yang berpenghasilan rendah.
Sementara pekerjaan dengan gaji rendah yang dilengkapi dengan kredit keluarga, keuntungan negara mencakup ketentuan pada biaya makanan di sekolah, namun anak-anak keluarga tersebut juga sangat tergantung pada makanan di sekolah yang menyediakan proporsi yang besar dari kebutuhan gizi sehari-hari mereka dengan biaya yang relatif rendah. Makanan di sekolah, dengan biaya rata-rata adalah £ 1,09 pada tahun 1995, menyediakan antara 30 dan 43 persen dari rata-rata asupan energi anak setiap hari (Doughty 1995). Namun antara tahun 1979 dan 1991, jumlah anak-anak di Inggris yang membeli makanan di sekolah turun dari  64 persen ke 42 persen. Selain itu, keadaan semakin menurun sampai pada tingkat makanan gratis di sekolah untuk secondary pupils (berusia antara 11 dan 15 tahun) dari pada untuk siswa SD (usia 5-11) di London menunjukkan klien yang lebih diskriminatif (Brindle 1994).
Penyebab tren ini seharusnya disebabkan anak-anak semakin lebih memilih membeli makan siang yang dikemas untuk mengurangi waktu antrian (dan memungkinkan waktu bagi klub makan jam siang dan kegiatan lainnya), dan agar mereka dapat duduk dengan siapa yang mereka pilih, untuk mengurangi biaya, dan untuk memudahkan siswa yang bersifat individual dalam memilih makanan. Orang tua juga memiliki kontrol lebih untuk menjaga pola makan anak-anak mereka, termasuk melengkapi dengan makan malam, untuk layanan makanan CCT di sekolah telah meningkatkan tekanannya (pada kedua kontraktor swasta dan DSO, yang terakhir harus mencapai 5 persen per tingkat dalam pengembalian modal) untuk menjual makanan dan snack yang anak inginkan, bukan apa yang mungkin dianggap baik bagi mereka.
Namun, sudah sejak  lama menjadi kekhawatiran tentang aspek kesehatan dari pola makan ( adalah akibat negatif yang timbul dari pola makan yang tidak seimbang atau gizi buruk). Keprihatinan ini telah disorot sejak penghapusan persyaratan undang-undang pada tahun 1980. The National Heart Forum (NHF) yang mewakili 35 organisasi kesehatan dan gizi di Inggris, berpendapat bahwa sebagai konsekuensi kualitas gizi makanan sangat bervariasi di antara berbagai bagian  negara dan pola makan  anak-anak telah memburuk meskipun terdapat  pilihan yang lebih banyak (Weale 1995). National Heart Forum dan The School Meals Campaign berpendapat bahwa banyak makanan di sekolah  yang mengandung terlalu banyak lemak dan sedikit yang memeriksa secara berkala isi apakah makanan di sekolah itu mereka sehat. The National Heart Forum mencatat anak sekolah di Inggris memakan makanan yang mengandung banyak lemak, gula dan garam dan sedikit buah dan sayuran. Pola makan seperti itu diduga menyebabkan penyakit jantung dan kanker di kemudian hari, serta kerusakan gigi dan obesitas masa kanak-kanak. Baru-baru ini, temuan BSE dalam daging sapi (penyakit sapi gila) merugikan aspek kesehatan lainnya yang berkualitas, yaitu bagaimana makanan diproduksi. Beberapa LEA sendiri memutuskan untuk menghapus produk daging sapi dan / atau daging sapi murni dari menu di semua sekolah, beberapa hanya pada sekolah tingkat dasar (dengan alasan bahwa para murid sekolah menengah mampu membuat keputusan sendiri) dan sebagian hanya bisa memutuskan untuk mengubah menu setelah berkonsultasi baik kepala sekolah dan / atau orang tua.
Pola pengambilan keputusan menggambarkan sejumlah poin. Pertama, kompleksitas persepsi tentang siapa pelanggan dan sejauh mana konsumen individu dari kelompok usia yang berbeda dapat dibiarkan untuk membuat keputusan konsumsi mereka sendiri berdasarkan pandangan yang saling bertentangan dari aspek kesehatan yang terkait dari makanan yang mereka makan. Kedua, LEAs memiliki peran paternalistik protektif yang terpisah dari kedua  Departemen Kesehatan dan Departemen perikanan pertanian dan makanan di Inggris  (dan bahkan dari Uni Eropa). Ketiga, istilah ini menekankan peran atau tekanan kelompok profesional (serta dalam) pemerintah daerah. Keempat, aspek pendapatan perlindungan makanan sekolah gratis menekankan karakteristik layanan kesejahteraan sosial.
Jelas bahwa ada berbagai aspek atau kualitas makanan di sekolah seperti nilai gizi, kepercayaan masyarakat terhadap keamanan makanan siap saji, dan pilihan siswa. Namun, kriteria kualitas yang cocok untuk dimasukkan dalam kontrak harus jauh lebih spesifik. contoh ilustrasi kontrak katering sekolah disediakan oleh Audit Commission (1993). antara lain, kontrak tersebut diharapkan dapat menyatakan bahwa makanan di sekolah harus bergizi (mungkin menggunakan pedoman sukarela dari pemerintah pusat) dan lezat, didasarkan pada perputaran siklus four-week cycle menu, dapur yang teratur diperiksa sesuai dengan peraturan kesehatan dan keselamatan, dan dengan a hotline for complaint. Mungkin, ini juga memerlukan layanan kantin (untuk memungkinkan  fleksibilitas siswa mengenai waktu dan teman makan siang) dan bahwa makanan yang dimaksudkan disediakan dalam keadaan panas. Beberapa kriteria tersebut bersifat teknis dan karenanya mudah untuk memantau (seperti suhu). Tapi siapa yang harus menentukan apa yang ada di menu, apa yang merupakan  makanan 'lezat' dan seberapa efektif keluhan ditangani?
Ini adalah tanggung jawab manajemen untuk dalam menyediakan kepemimpinan, komitmen dan dukungan yang diperlukan untuk mengembangkan jaminan kualitas. Oleh karena itu penting bahwa manajemen (baik di tingkat sekolah individu atau tingkat otoritas pendidikan lokal) memiliki pemahaman yang jelas tentang jaminan mutu dalam hal makanan di sekolah. Selain kualitas Input (bahan untuk makanan sekolah dan sebagainya), pendidikan dan pelatihan (pemeliharaan kebersihan makanan dan sebagainya) adalah komponen penting dari proses produksi dalam rangka meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan untuk mendorong partisipasi mereka dalam perbaikan kualitas.
Hasil dari efektivitas final output tergantung pada kedua aspek teknis dan perilaku kualitas. Aspek perilaku terkait dengan bagaimana (atau apakah) output digunakan dan sejauh mana itu dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan pengguna. Perilaku murid sehubungan dengan pilihan makanan di sekolah yang merupakan kasus dalam pemilihan, memilih atau tidak makan sejak awal khususnya untuk produk makanan.
Hal ini dipertanyakan apakah kriteria kualitas kontrak tersebut menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih besar di kalangan pengguna jasa. Komisi Audit menemukan bahwa sebelum CCT, konsumen sering tidak puas dengan layanan yang disediakan. Setiap spesifikasi biasanya ditetapkan oleh departemen layanan bukan oleh kepala sekolah pada titik penyediaan layanan. Apalagi spesifikasi tersebut tidak selalu diikuti dan sulit bagi konsumen untuk memperoleh ganti rugi. Komisi mengatakan bahwa semua ini harus berubah sebagai hasil pengenalan CCT.
Bahkan, survei dari 150 sekolah yang dilakukan oleh Commissions Auditor’s adalah contoh dari pihak berwenang yang  mengungkapkan ketidakpuasan yang signifikan terhadap penyediaan jasa katering. Dalam jawaban atas pertanyaan? Seberapa baik biaya yang anda keluarkan untuk kontrak memenuhi dalam kebutuhan anda? hampir sepertiga dari responden menjawab 'buruk' atau sangat tidak baik (Audit Commission 1993). Meskipun berdasarkan persentase sampel yang sangat kecil, hasil ini didukung oleh survei lain pada dampak dari manajemen lokal atau Sekolah (LMS) inisiatif dengan lebih dari seperempat responden menilai pelayanan menjadi miskin atau sangat miskin (LGMB 1992).
Penjelasan ini  melanjutkan ketidakpuasan yang mungkin ada pada putaran pertama kontrak yang cenderung pada input atau proses. Penjelasan yang mungkin ini didukung oleh fakta bahwa, layanan yang tunduk pada CCT, Katering itu telah ditemukan untuk menjadi layanan jika ada kegagalan setidaknya untuk melaksanakan berdasarkan kontrak, begitu beragamnya layanan seperti pembersihan bangunan dan alasan pemeliharaan setelah mengalami tingkat kegagalan tertinggi (Walsh dan Davis 1993). Meskipun demikian, Walsh dan Davis menemukan bukti penurunan pilihan, kebosanan menu dan beralih dari yang segar kepada makanan beku, mungkin dijelaskan oleh lingkup yang terbatas untuk penghematan biaya lebih lanjut disebutkan di atas.
Saat ini dengan pengecualian yang sangat kecil pada kontrak dalam institusi tunggal, sebagian besar kontrak berkaitan dengan semua layanan yang harus dipenuhi, ini mungkin menjadi sangat signifikan di sekolah terdapat perbedaan budaya makanan sesuai proporsi etnis dan agama minoritas.
Hasil penelitian yang diuraikan dan dianalisis di tempat lain (Bailey1998 b) menunjukkan bahwa pengguna akhir dari layanan makanan sekolah (yaitu siswa itu sendiri) relatif kurang terwakili dalam prosedur jaminan kualitas.Hasil ini mungkin yang tak terelakkan dalam   konteks kelembagaan dan kebijakan di mana layanan makanan sekolah beroperasi. Meskipun demikian, mereka yang akhirnya memakan makanan (atau yang memilih untuk tidak makan) tidak signifikan terlibat dalam penentuan kriteria kualitas. Peran mereka cenderung residualized  dengan pengaduan, setelah pelayanan memuaskan. Oleh karenanya penentuan suara mereka terkait standar belum meningkat secara signifikan. Sementara pengguna memiliki kekuatan untuk keluar dari katering sektor swasta dengan lingkungan sekolah, hal ini dibatasi oleh tingginya tingkat ketergantungan pada makanan sekolah gratis di LEA tertentu. Penyediaan makanan gratis menjadi bagian dari kebijakan sosial dari pemerintah daerah dengan lingkungan multiply yang dirampas dalam wilayah administrasi mereka. Namun demikian, faktanya bahwa proporsi tinggi dari makanan gratis yang disediakan seharusnya bukan dari diri sendiri sebagai syarat sejauh mana siswa memiliki hak suara dalam penentuan kualitas.
Dalam prakteknya, bagaimanapun representasi pandangan pengguna dioperasionalisasikan melalui kepala sekolah atau melalui perwakilan orang tua pada badan pengelola sekolah. Siswa sendiri tampaknya dihadapkan pada pilihan terbatas melalui layanan kafetaria.
Bailey (1998b) menemukan bahwa pendekatan kualitas (berbasis nilai atau berbasis pengguna lihat bab 13) itu sangat ditentukan oleh anggota yang terpilih dan manajer layanan. Anggota terpilih dapat bertindak atas nama pengguna jasa atau mereka menggabungkan sendiri nilai-nilai ke dalam kualitas layanan. Jika pada kenyataannya, anggota hanya menyetujui (bukan memulai) kebijakan yang direkomendasikan oleh manajer layanan, maka pendekatan manajerial lebih dominan. Rekomendasi manajer sudah bisa memasukkan nilai yang ditetapkan oleh politisi lokal, sehingga tidak ada lagi kebutuhan untuk memulai spesifikasi kontrak dari kebijakan layanan. Namun, akan lebih sulit bagi politisi lokal untuk secara aktif mewakili pengguna (sekolah dan siswa mereka) dalam kasus seperti itu.
Standar kualitas yang dibutuhkan hampir selalu ditentukan oleh pembelian otoritas lokal, pengguna saat ini menampilkan hanya seperempat potensi kasus pengguna di masa depan. Prosedur Pengaduan belum diprioritaskan sebagai aspek kualitas dari manajemen. Sebaliknya ada pendekatan yang lebih luas untuk pengaturan dan standar pengawasan.

Kesimpulan pada makanan sekolah dan kompetisinya
            OCT dan LMS telah memberikan siswa sekolah dan orang tua mereka lebih baik terhadap kekuasaan politik dan pasar yang mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan makanan sekolah gratis di beberapa otoritas.  Dalam pengertian ini, kualitas makanan sekolah merupakan sebuah konsep politik dan semakin tunduk pada kekuatan pasar. Definisi kualitas memerlukan pendekatan pluralistik yang harus didukung oleh komunikasi yang efektif antara semua pemangku kepentingan sehingga memungkinkan pencapaian kualitas dalam kerangka kerja yang secara ekonomis efisien, dinamis dan responsif.
Studi kasus ini telah memberikan penjelasan tentang keberagaman sifat kualitas pelayanan dalam katering makanan sekolah. Untuk percaya bahwa persaingan tentu akan mengarah pada peningkatan kualitas layanan seperti yang dirasakan oleh pengguna jasa. Dampak terhadap kualitas pelayanan pada akhirnya tergantung pada cara di mana kompetisi perubahan praktek manajemen. Mengubah hubungan antara manajer dan politisi lokal dan perubahan pengaruh keuangan atau sekolah (dalam hal pemberian kontrak mereka sendiri) dan terhadap siswa mereka (dalam memilih membeli atau tidak membeli makanan).

KESIMPULAN
Bab 13 menjelaskan bahwa ada ruang yang cukup besar untuk kompetisi yang akan diperkenalkan dalam sektor pemerintah daerah. Dari sekian banyak cara di mana kompetisi dapat diperkenalkan. Purchaser-provider split yang paling radikal dalam hal implikasinya bagi struktur pemerintahan lokal dan fokus pada efektivitas biaya jasa. Namun, meskipun secara logika deduktif dari purchaser-provider split, bukti di UK bahwasannya pemerintah daerah terus peduli khususnya pada input dan  proses bukan hanya pada output dan outcome.
Memang, purchaser-Provider split tampaknya telah mengakibatkan pemerintah daerah Inggris lebih memperhatikan Input dan proses karena adanya formalitas dari kontrak. Kekhawatiran ini menembus setiap tahap rezim CCT dari prosedur pra-seleksi (daftar pendek), melalui evaluasi tender dan penerimaan terhadap pengawasan kinerja kontraktor.
Dalam hal ini perkembangan secara teoritis dari model pembeli-penyedia terlalu sederhana dalam hipotesa bahwa klien pemerintah daerah hanya akan peduli dengan output dan outcome sehingga dapat berkonsentrasi pada isu-isu kebijakan strategis. Untuk berhipotesis bahwa mereka akan mempercayakan kepada kontraktor mengenai kekhawatiran terhadap input dan proses yang jelas-jelas salah. Argumen ini didasarkan pada skenario pasar yang disederhanakan di mana pembeli dan penyedia sebagai pihak anonimus untuk melakukan transaksi. Meskipun hal ini mungkin merupakan gambaran yang akurat dari kebanyakan pasar ritel, seperti anonimitas yang tampaknya langka di tempat lain.
Pembeli dan penyedia sering berada dalam hubungan saling ketergantungan, menyediakan komponen atau jasa kepada pengguna dan keduanya sama-sama peduli pada kualitas produk setengah jadi. Bahkan di mana ada pembeli dan penyedia jelas membagi pekerjaan yang erat dalam hubungan antara kontraktor dan unit kontraktor dapat berkembang dalam rangka mengatasi kesulitan operasional. Penyedia mungkin juga peduli pada pengembangan layanan, terutama jika ada kemungkinan untuk meningkatkan perubahan perpanjangan kontrak mereka. Ada bukti kuat dari rezim CCT Inggris bahwa klaim memperkuat layanan kepada pengguna ditingkatkan, yang berbeda dari peningkatan proses manajerial.
Mengingat konsekuensi manusiawi, sosial dan politik dari kegagalan pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan dalam jumlah dan kualitas yang diinginkan, ada kemungkinan bahwa pemerintah daerah akan semakin memiliki pendekatan yang sangat terstruktur dan komprehensif untuk memastikan pemberian layanan yang berkualitas oleh kontraktor. Fokus semacam ini jelas bukan semata-mata karena kesulitan dalam mengukur dan menilai kualitas output dan outcome berikutnya.
Analisis di atas adalah hasil dari penelitian yang secara efektif, persaingan kedua kondisi yang diperlukan apakah cukup untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah daerah, Sebuah analisis public choice terhadap operasi dan hasil dari kuasi-pasar meragukan klaim bahwa kualitas harus ditingkatkan bagi pengguna jasa, yang berbeda dari kelompok pemangku kepentingan lainnya, Oleh karena itu, masih ada waktu untuk pergi sebelum dipastikan bahwa purchaser-provider split telah membawa pergeseran penekanan pada strategi pelayanan dalam hal output dan outcome. Jelas, transformasi pemerintah daerah dari organisasi yang berorientasi produksi kepada organisasi organisasi yang berorientasi konsumsi, jauh lebih kompleks daripada logika deduktif dari purchaser-provider split.
Suara yang tidak diragukan lagi dari kepentingan yang jauh lebih besar daripada keluar sebagai layanan yang biasanya tunduk pada tender yang kompetitif. Kualitas pelayanan sangat tergantung pada konsumen. Pengguna dan warga negara dapat mengekspresikan dan mempengaruhi kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Saat ini penelitian Inggris menemukan bahwa keterlibatan pengguna sangat terbatas dan lebih reaktif dari pada proaktif. Hal ini menunjukkan bahwa suara pengguna masih lemah. Pengecualian cenderung berada dalam layanan-layanan di mana pengguna dapat dengan jelas diidentifikasi seperti asosiasi para penyewa.
Meskipun kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan keinginan pengguna, masih ada kebutuhan untuk visi strategis tentang bagaimana setiap layanan harus dikembangkan di masa depan, Tanpa visi tersebut, para pemangku kepentingan (termasuk pelanggan) tidak memiliki fokus yang tepat untuk mendiskusikan tentang harapan mereka dari layanan. Dengan kata lain, peningkatan penggunaan survei kepuasan pelanggan tidak selalu merupakan pengganti yang tepat untuk representasi kolektif dan pembahasan publik tentang sifat pelayanan publik. Semua pemangku kepentingan harus dapat mempengaruhi layanan secara langsung terlibat dalam monitoring dan evaluasi dan dapat menyarankan cara untuk meningkatkannya.  Sebuah hubungan harmonis antara produsen dan konsumen harus dicapai. Salah satu carnya adalah melibatkan semua pemangku kepentingan. Penentuan kualitas tidak boleh didominasi satu sisi. Penulis jelas mengambil sikap normatif dalam hal ini.
Untuk mengklaim bahwa rezim CCT Inggris telah mempertahankan atau meningkatkan kualitas layanan tetap merupakan pernyataan yang belum terbukti, dari perspektif pemangku kepentingan khususnya didominasi manajerial dan profesional dalam kontennya. Bukti jelas bahwa CCT telah meningkatkan efisiensi teknis dengan penghematan penggunaan input dan mengurangi kerenggangan organisasi di sisi kontraktor. Hal ini masih menimbulkan keraguan secara terbuka tetapi CCT telah meningkatkan baik alokasi efisiensi kualitas yang diperlukan untuk perbaikan tahap akhir.
Selain itu, CCT mungkin telah menyebabkan hasil kesetaraan yang merugikan, hal itu mengurangi upah riil dan menyebabkan memburuknya kondisi pekerjaan lainnya. Ada juga kemungkinan bahwa implikasi dalam pembayaran jaminan sosial yang lebih besar sebagai akibat dari tingkat gaji yang lebih rendah dan pengangguran yang lebih tinggi. Namun, pemotongan upah dan PHK paksa ini umumnya tidak menjadi sumber utama penghematan biaya. Sebaliknya, penghematan biaya tampaknya berasal dari peningkatan efisiensi teknis, perubahan dalam campuran modal kerja, manajemen aset yang baik SERTA pengurangan biaya yang berlebihan.
Secara umum penekanan pada pelanggan berbeda dari warga negara, membutuhkan perubahan radikal dalam bentuk organisasi tradisional dan kontrol sektor publik. Penekanan legalitas tradisional, tugas hukum dan kesetaraan atau pengobatan berdasarkan kebutuhan yang semakin dilengkapi dengan pertanggungjawaban langsung kepada pengguna layanan sebagai salah satu kelompok dalam spektrum perubahan pemangku kepentingan. Sederhananya, konsep kualitas menjadi semakin kurang kolektif, paternalistik dan di lingkungan yang tampak berbasis institusi, konsep ini semakin lebih responsif, berwawasan ke luar dengan pelanggan individu.
Bahkan jika peningkatan perhatian diberikan kepada preferensi pengguna jasa, konseptualisasi dan pelaksanaan kualitas pelayanan sektor publik tentu jauh lebih luas dari pada pendekatan yang berbasis pasar yang dianut oleh teori ekonomi. Pendekatan yang lebih luas ini menawarkan lebih banyak ruang untuk pelaksanaan langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas. Selain itu, secara eksplisit mengakui konteks kebijakan publik di mana kualitas pelayanan sektor publik ditentukan. Dimensi karakteristik dan fitur kualitas layanan hanya dapat ditentukan melalui debat publik dan musyawarah yang demokratis. Kedaulatan konsumen bukan satu-satunya penentu kualitas pelayanan pemerintah daerah.