DAMPAK
DARI Purchaser- Provider Split di United Kingdom (UK)
Pendahuluan
Bab
13 memberikan penjelasan tentang makna dan tingkat persaingan pada pemerintah daerah dan mempertimbangkan
bagaimana hal itu dapat
ditingkatkan melalui Purchaser-
Provider Split. Referensi ini dibuat untuk mengembangkan teori ekonomi dan teori organisasi serta model formal terkait efektivitas biaya. Model ini dibedakan secara konseptual yang berdampak pada
kedua hipotesis yakni biaya jasa
layanan dan kualitas layanan. Sementara perspektif ekonomi tetap mempertahankan pada kualitas layanan, diakui
bahwa konseptualisasi kualitas
layanan lebih memerlukan pendekatan Bronder dari pada pendekatan konvensional yang diadopsi oleh para ekonom.
Bab ini menguji beberapa prediksi
teoritis dari dampak persaingan Purchaser-
Provider Split pada biaya dan kualitas layanan. Fokus
pada pengalaman di UK, terutama dalam kualitas pelayanan. Manajemen jasa
olahraga dan rekreasi serta penyediaan makanan di sekolah dianalisis sebagai dua studi
kasus untuk menggambarkan perlunya
pendekatan multidisiplin yang luas
dalam mempelajari dampak dari persaingan kualitas
layanan.
Bukti di UK
Purchaser-
Provider Split didukung
oleh rezim The UK's Compulsory Competitive Tendering (CCT)
yang dijelaskan dalam bab sebelumnya yaitu Bab 12 dan 13. Selama 1980-an dan awal
1990-an konstruksi terkait rezim
CCT diaplikasikan pada layanan yang tercantum dalam Tabel 13.1 ditambah dengan kegiatan
yang ada dalam pemerintah daerah.
Sementara
terjadi situasi
yang bervariasi dari
kompleksitas politik yang berbeda antar
pemerintah daerah di UK, ada beberapa
bukti bahwa Purchaser-
Provider Split memiliki beberapa dampak.
Peran
Politisi
Lokal
Tampaknya
ada pergeseran atau keterlibatan politisi lokal terhadap keprihatinan pada penyediaan secara langsung (kebutuhan
untuk memenangkan kontrak untuk menjaga pekerjaan pegawai pemerintah
daerah) dan menuju kepedulian terhadap layanan secara umum
serta secara khusus fokus pada pelanggan (Walsh dan
Davis 1993).
Sebuah survei Local Government Management Board
(LGMB) menyatakan bahwa ada perubahan wewenang yang terjadi pada 285
Organisasi. Rao dan
Young (1995) menemukan bahwa 43
persen dari otoritas politisi lokal sangat terlibat dalam mengembangkan kebijakan dan 47 persen dari mereka
terlibat dalam penetapan standar.
Sebaliknya,
hanya
15 persen yang
terlibat dalam menentukan
kontrak dan 14 persen dari mereka yang terlibat dalam pengawasan.
Pergeseran
secara
progresif ini mungkin mencerminkan
perkembangan perimbangan ide-ide klien pada sisi
kontraktor dari Purchaser- Provider Split.
Secara
umum dalam kasus terakhir
keterlibatan politisi lokal
cenderung sangat terbatas disebabkan karena adanya delegasi yang besar dari komite layanan pemerintah
daerah untuk kedua sisi klien dan
sisi kontraktor. Hal ini terjadi karena siklus
komite pemerintah daerah tidak cocok untuk kebutuhan dalam pengambilan keputusan secara cepat oleh
otoritas lokal pada unit produksi in-house,
yang dikenal dengan istilah Direct Labour Organizations (DLOs) untuk kegiatan
yang terkait dengan konstruksi atau
Direct Service Organization (DSO) untuk jenis layanan lain yang berada dibawah naungan Compulsory Competitive Tendering (CCT).
Oleh
karena itu,
keterlibatan politisi lokal pada sisi kontraktor cenderung
lebih sporadis dalam menanggapi
isu-isu tertentu. Keterlibatan
mereka
pada sisi klien sering
melalui posisi mereka dengan badan eksternal,
khususnya badan yang mengatur sekolah. Hasil
akhirnya
adalah pelaporan yang
tidak memadai terkait kontrak kinerja dan pengawasan oleh komite pemerintah daerah. Defisit
struktural
ini tampaknya telah diperkuat oleh putusnya
budaya dalam pembagian klien dan kontraktor dalam
keanggotaan yang sulit menemukan
kecocokan peran mereka (yaitu politisi lokal) (Walsh dan
Davis 1993, hal.23).
Struktur
manajemen
Kompetisi dapat
mengarah langsung dalam peningkatan efisiensi
pada sisi kontraktor (lihat di bawah ini), tetapi belum tentu memiliki dampak apapun (baik
secara tidak langsung pada direktur) pada struktur tata kelola di sisi klien. Struktur
manajemen pada sisi klien sangat terpusat (dalam bentuk unit spesialis klien tunggal
pada bendahara eksekutif
atau pada departemen personalia),
sangat
terdesentralisasi (dalam departemen
pelayanan individu yang bertanggung jawab pada kontrak mereka sendiri) atau sebagian kasus
desentralisasi klien pada departemen
(misalnya departemen pendidikan mengambil peran klien untuk semua urusan bangunan, kebersihan, pendidikan dan kesejahteraan katering dengan alasan pemeliharaan pekerjaan).
Peraturan yang diperkenalkan
oleh the 1992 Local Government Act sebagai alasan untuk purchaser-provider
split, akan tetapi aturan tersebut tidak menentukan
sifat yang tepat dari perpecahan.
Hasilnya
adalah bahwa perbedaan antara klien dan kontraktor menjadi meluas dengan DSO dan unit
kontraktor pada departemen
yang terpisah, (hard split yang keras
biasanya terjadi untuk pengumpulan
sampah/masalah kebersihan). Beberapa pihak telah mengadopsi
perjanjian 'twin-hatted'
diantara klien dan kontraktor (DSO) terkait peran yang dikelola dalam
departemen layanan yang sama (soft
split). Dalam kasus
terakhir, secara resmi laporan dipisahkan antara unit klien
dan kontraktor (DSO) kepada struktur manajemen yang sama, hal ini secara umum terjadi pada manajemen
olahraga dan rekreasi (LGMB 1992). Pendekatan
yang paling umum adalah multi-functional
DSO yang mana DSO secara mandiri berdiri sendiri mengoperasikan beberapa
kontrak (Walsh 1991).
Apakah Kontraktor Yang Kompetitif
Bisa Mengurangi Biaya Jasa?
Sementara
hasil
yang memenuhi syarat oleh masalah metodologis (Marsh,
1991: Cope 1995) sebagai bukti (beberapa
hubungan di antara negara-negara lain selain UK) bahwa
hasil kontrak yang kompetitif
terhadap penghematan biaya yang signifikan dalam penyediaan layanan pemerintah daerah (misalnya, Komisi Audit 1984,
1987, 1988; Carnaghan
dan Bracewell 1993;
Chaundy dan Uttley
1993;. Cubbin et
al 1987;. Domberger
et al 1986,
1988 ; Ganley
dan Grahl 1988;
IPF 1986; Kerley
dan Wynn 1991;
Parker dan Hartley
199O, Szymanski dan
Wilkins 1993; Uttley
dan Harper 1993;
Vining, dan Boardman
1992; Voytek 1991;
Walker 1993; Walsh
1991; Walsh dan
Davis 1993). Penghematan
biaya yang sebagian besar bangkit dari peningkatan efisiensi teknis, perubahan dalam
campuran modal kerja, baik
sebagai kelompok manajemen dan kelompok pengurangan
biaya overhead dari pada melalui
pemotongan upah dan PHK paksa.
Mungkin, tentu
saja ada kasus dalam peningkatan biaya. Ini secara khusus akan menjadi kasus di mana pasar tidak benar-benar diperdebatkan sehingga penghematan
biaya fungsi produksi (jika
ada) tidak cukup untuk mengimbangi biaya
administrasi kontrak. Selain itu, angka-angka untuk penghematan biaya yang sangat tergantung pada sifat layanan negara yang berkaitan
dengan data, serta apakah dengan
penghematan pada data tersebut setelah dikurangi dengan biaya
kontrak dan pengawasan. Namun, tabungan
bruto sekitar 20 persen dianggap cukup representatif (Bailey 1995; Cabinet
Office 1996; Dumberger
dan Jensen 1997).
Penghematan
biaya ini
dapat digambarkan dalam hal pergeseran pada agen production
possibility frontier (PPF). Selain itu, kontraktor yang kompetitif dapat mengakibatkan agen menawarkan kombinasi input
pada PPF yang
dapat memaksimalkan kesejahteraan pokok (lihat Gambar 5.2).
Dalam hal ini, dilaporkan
penghematan biaya di bawah perkiraan
total keuntungan ekonomi pokok.
Apakah kontraktor
yang kompetitif bisa meningkatkan
kualitas layanan?
Sebuah
survei
tahun 1995 pada semua pemerintah daerah
di Inggris menemukan bahwa mereka masih berkaitan erat dengan input dan proses
(didefinisikan dalam Bab 13) yang digunakan untuk menghasilkan layanan yang tunduk pada CCT, bahkan mungkin lebih sebagai akibat dari kerasnya kontrak antara pembeli dan
Provider yang kini terpecah
(Bailey dan Davidson
1996, 1997, 1999: Davidson dan Bailey
1996). Pada titik keseimbangan, perhatian pembeli fokus pada kualitas dan yang
paling utama pada proses dari pada Input (seharusnya keduanya menjadi tanggung jawab provider)
atau output dan outcome (seharusnya keduanya menjadi tanggung jawab pembeli).
Penekanan
pada proses dibuktikan dengan ketergantungan pada mekanisme seperti pemberian pelayanan, pembetulan kesalahan dan waktu respon yang menyarankan pendekatan proses yang berat bagi manajerial pada kualitas yang belum
pasti skornya seimbang dengan mekanisme yang berhubungan dengan hasil yang efektif.
Pendekatan yang didominasi manajerial ini belum tentu
mengakibatkan pembeli menjadi advokat konsumen.
Masih ada keyakinan bahwa itu proses manajemenlah yang akan menjamin hasil yang berkualitas. Mungkin karena hal itu masih menjadi konflik kepentingan antara klien dan kontraktor di satu sisi dan di sisi pengguna.
Interpretasi
dari hasil ini memunculkan pertanyaan, bagaimanapun temuan Bailey
dan Davidson yang menyatakan bahwa petugas di sisi klien mengabdikan sebagian
besar waktu mereka untuk input
dan proses tidak selalu membuktikan
adanya minat yang lebih rendah dalam
output dan outcome. Memang,
penelitian lain di UK menemukan bahwa
peningkatan kualitas telah dihasilkan
dari CCT karena pemerintah setempat dipaksa untuk meninjau layanan dan meningkatkan standar pengawasan, sekarang secara eksplisit
ditentukan dalam kontrak (Walsh dan Davis
1993). Hal ini menjadi bukti yang cukup kuat.
Pertama, hal
tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang hanya diperoleh dari panel sebanyak
40 penguasa Inggris dengan mengesampingkan orang-orang di Skotlandia dan Wales.
Kedua, data harus
didasarkan pada kesan subjektivitas
responden (pejabat dan politisi)
selama wawancara (Walsh 1991). Oleh karena itu ada
pencarian tersirat yang mengadopsi definisi dari
kualitas dalam benak
responden. ini menjadi tidak konsisten dengan pengakuan
bahwa pengguna harus dilibatkan
dalam penilaian (Stewart dan Walsh 1991.p.14).
Kemungkinan terjadi jawaban bias yang kuat dari
responden akan tetapi tidak boleh
diabaikan. Sementara itu akan tidak
realistis mengharapkan petugas
dan manajer untuk mendapatkan kebenaran,
pertama kali yang mereka alami
akan enggan untuk mengakui bahwa kualitas pelayanan belum secara luas dipertahankan,
karena dengan mengakui bahwa keburukan itu mungkin akan menunjukkan
kegagalan dalam pemenuhan sasaran strategis
layanan. Kegagalan untuk mengamankan standar kualitas bisa berhubungan dengan
mekanisme sistem jaminan
kualitas (kuesioner pra-lelang, spesifikasi kontrak,
pemantauan dan pengaturan untuk tindakan perbaikan) atau pendekatan broider untuk perusahaan dan konsepsi kualitas.
Bukti
obyektif
lebih sulit ditemui pada standar yang
diperkenalkan di hadapan CCT, hanya saja kualitas tidak dimonitor secara aktif (Walsh dan Davis 1993).
Standar yang diam-diam tidak tertulis. Setelah pengenalan CCT mempersiapkan sifat yang sangat rinci. Membiarkan dan mengawasi
kontrak adalah pekerjaan yang sebagian besar dipimpin oleh pegawai. Politisi lokal biasanya hanya menetapkan pedoman yang sangat umum. Memiliki sedikit Keterlibatan dan biasanya menerima rekomendasi dari
komite layanan klien sesuai dengan posisi mereka (Walsh 1991).
Tujuan
standar
tertentu tidak dapat ditulis pada kontrak. Bahkan kualitas bisa saja efektif dioperasionalkan
dalam kontrak awal, tetapi belum tentu terjadi pada kualitas yang telah
diamankan karena adanya kasus
saat standar tidak tercapai. Pemantauan yang efektif dan tindakan perbaikan yang
cepat sangat penting dalam kasus-kasus
seperti itu, tetapi tidak dibantu oleh
penemuan informasi di sisi klien yang biasa terlihat buruk
dan sisi klien sering kali tidak memiliki keahlian dalam
keterampilan manajemen.
Ketiga, bukti yang ditemukan oleh Walsh dan Davis yang
berkaitan hanya pada beberapa tahun pertama dari rezim CCT (sebelum tahun 1993)
dimana adanya insentif
keuangan untuk pemotongan biaya yakni dengan mengurangi kualitas bisa bertahan di luar tanggal
tersebut. Menurut Gaster (1995b, p, 132) satu hal yang pasti sebuah program yang berkualitas membutuhkan waktu yang lama,
minimal tiga sampai lima tahun.
Oleh
karena itu,
terlihat hasil pada penelitian Walsh dan Davis mengenai pemeliharaan kualitas yang terbaik sangatlah
profesional. Peringatan yang sama ini juga berlaku pada survei terbatas pada sembilan pemerintah daerah dan dua
belas otoritas kesehatan pada
tahun 1989 dan 1990 (sebelumnya biasanya melibatkan otoritas bendahara atau wakilnya) yang
menyimpulkan bahwa sebagian besar kontrak (113 dari 199) kualitas secara umum dipertahankan
(Mc Guru 1995. p. 421).
Sentimen mengenai
kebutuhan untuk pelibatan pengguna jasa selama periode waktu yang panjang dibagi oleh Audit
Commission. Pada tahun 1992 -1993 komisi bawah mengambil
pekerjaan lapangan secara detail pada 13 pemerintah Inggris
serta kunjungan singkat kepada sejumlah biarawati tertentu di otoritas lain, dan 40
sampel pada otoritas lain
melalui kuesioner yang menggunakan aspek sisi klien. Mereka juga berkonsultasi dengan badan-badan
profesional yang relevan. Sambil menyimpulkan bahwa banyak pemerintah daerah terus memberikan layanan yang berkualitas baik di
tempat lain.
Kegagalan sistem
menjadi salah satu penyebab kegagalan untuk melibatkan konsumen dalam pelayanan di dalam proses kontrak. Di dalam kewenangan yang dikelola masyarakat umum, kepala sekolah atas nama sekolah, siswa dan
orang tua mereka, pihak penyewa perumahan
dan konsumen yang lain dari
pelayanan yang diberikan oleh pihak kontraktor
memegang peranan penting dalam
spesifikasi dan pengawasan kontrak, (Audit Commission
1993, p.1).
Pengekspresian Suara
Jelas Penting dalam Menjamin Kualitas Layanan (Lihat Bab 3 Dan 4)
Domberger dan
Hensher (1993) juga
menemukan bahwa jika ada kualitas
yang telah meningkat, peningkatan
tersebut tidak terbatas hanya pada
layanan yang tergantung pada CCT, Sebuah survei mengenai opini publik yang disponsori
pemerintah menjumpai mayoritas responden berpendapat bahwa 28 standar pelayanan
publik telah meningkat untuk dipertahankan selama tahun sebelumnya (Penelitian
ICM 1993). Peningkatan
tersebut
tampaknya merupakan hasil dari inisiatif
lokal dan pengaruh yang lebih
umum dibandingkan CCT, dan tidak hanya dari
Citizen’s Charter (Pollitt
1994), tentu saja dengan manfaat yang sudah ada. Walsh (1995 p. 239) sebagai catatan kualitas layanan telah menjadi konsep yang
umum dalam pembahasan perubahan dalam manajemen pelayanan publik.
Rao dan
Young (I995) menyatakan bahwa
sekarang ini manajer melihat layanan dari perspektif pengguna dan masyarakat bukan semata-mata dari sudut pandang mereka
sendiri sebagai provider.
Namun penelitian ini juga sangat terbatas pada wawancara
secara langsung kepada pejabat dan
anggota dewan, hanya pada sepuluh
dewan Di Inggris,
Wales dan Skotlandia. Para penulis menjelaskan hasil mereka sebagai kesan kualitatif
(ibid. hal. 1).
Pada kenyataannya, khususnya dalam hal
CCT, Davies dan
Hilton (1993) menemukan bahwa minat kualitas hasil
atau inisiatif utama adalah pada petugas
yang dipimpin (bukan anggota dewan yang dipimpin). ini adalah studi seorang
pilot pada skala kecil yang terbatas
hanya di bagian utara-barat
Inggris dan di Wales
bagian utara, sehingga hasilnya
juga harus diperlakukan dengan hati-hati.
Hasil penelitian
Bailey dan Davidson
juga menunjukkan bahwa, meskipun keterlibatan anggota terpilih pada setiap pendekatan kualitas,
tetapi sebagian besar juga ditentukan
oleh petugas klien dan departemen. Pengguna layanan
memiliki sedikit keterlibatan
dalam penentuan dan pengawasan standar kontrak
di putaran pertama CCT. Secara khusus, ditemukan
bahwa standar teknis (seperti
pembetulan kesalahan, prosedur pengaduan, waktu
respon serta isu-isu kesehatan
dan keselamatan) lebih sering ditentukan
dari pada standar non-teknis (seperti output layanan dan hasil yang diharapkan). Standar yang bersifat
non-teknis kurang
bisa menerima spesifikasi yang tepat
dan bahkan kurang bisa menerima pengawasan (LGMB 1995). Seperti
yang telah disebutkan di atas, penekanan
pada proses tidak seimbang
oleh mekanisme yang
berhubungan dengan hasil yang efektif. Terutama peran pengguna
jasa atau yang mengajukan keluhan
terhadap peran negatif dan reaktif yang sangat terbatas sesuai dengan peran mereka dalam menentukan standar. Implikasi yang jelas adalah pembeli memantau apa
yang dapat dimonitor bukan apa
yang harus diawasi (lihat
Bab 5). Hal ini menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana petugas klien dan pejabat lain
yang diidentifikasi dalam penelitian
sebelumnya bisa begitu yakin bahwa standar layanan itu tetap konstan atau meningkat.
Penilaian
kembali terhadap Purchaser-Provider SPLIT
Mungkin tidak
mengherankan bahwa pemerintah daerah di Inggris terus fokus utama pada input dan proses. Pertama,
kualitas output akhirnya tergantung pada kualitas input dan
cara salah yang mereka gunakan
dalam rangka memberikan layanan.
Kedua kualitas output
dan outcome yang sulit diukur. Khususnya bagi layanan white-collar
dan layanan yang profesional. Spesifikasi
standar untuk outputs dan outcome
mungkin parsial atau tidak
lengkap dan mungkin lebih mudah
untuk menentukan standar untuk input
dan proses. Dalam kasus tersebut,
cara lain harus dibuat untuk menilai kualitas input dan proses untuk
mendapatkan penilaian yang lebih komprehensif
dan berkualitas. Ketiga, pemerintah
daerah mungkin ingin mengurangi
risiko terjadinya kualitas
interior output atau outcome karena konsekuensi keuangan dan sosial
politik. Oleh karena itu mereka akan
mengamankan input dan kualitas proses untuk mengurangi risiko tersebut.
Pemerintah
daerah
adalah pembeli yang secara alami waspada terhadap kecerobohan
provider yang terlalu bertele-tele dalam memutuskan cara terbaik dalam pemenuhan kebutuhan layanan otoritas,
baik dalam hal pengurangan biaya dan
praktek inovatif. Oleh karena itu,
lebih sering pada persoalan keseimbangan yang tepat dari spesifikasi kualitas input, proses, output dan outcome. Alasan ini untuk
menekankan pada input dan proses yang berfungsi untuk memenuhi persyaratan bimbingan pemerintah UK bahwa sedapat mungkin
spesifikasi kualitas harus berhubungan dengan output.
Memang, LGMB
merekomendasikan bahwa pihak yang berwenang
setempat memeriksa kompetensi
dan kualifikasi staf yang dipekerjakan oleh kontraktor.
Karakteristik ini dapat dinilai dengan
mewajibkan perusahaan yang ingin mengajukan
tawaran pada kontrak untuk mengisi kuesioner pra tender. Kuesioner
tidak perlu detail dengan penekanan yang berlebihan pada spesifikasi input dan proses yang mungkin dianggap anti
kompetitif. Hal ini khususnya terjadi
bagi mereka dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak relevan dalam hal non-komersial seperti kondisi
kerja staf atau afiliasi politik. Sebaliknya, rincian kualifikasi pendaftaran staf pada badan-badan
profesional, kebangkrutan, tindak
pidana, jaminan asuransi profesional, pengalaman dengan kontrak yang sama, sistem manajemen
mutu seperti TQM (lihat Gambar 3.4) dan
ISO 9000 (lihat
studi kasus di bawah), dan hal-hal
lain yang penting bagi pengiriman
dan kualitas layanan menjadi perhatian
yang sah.
Secara
umum,
pendekatan yang optimal untuk mengamankan kualitas dan
kuantitas yang diperlukan dalam pelayanan akan cenderung Vary antara pemerintah daerah dengan keadaan yang berbeda (misalnya ukuran dan ruang lingkup kontrak dan tujuan layanan) dan
dalam pemerintah daerah untuk layanan yang berbeda. Namun, tidak mungkin pemerintah daerah akan menetapkan standar untuk input, proses, output dan outcome tanpa mengacu pada kemampuan potensial kontraktor.
Apakah
purchaser-provider
split mengamankan
nilai
terbaik?
Hal
ini dipertanyakan apakah Purchaser-Provider
Split diperlukan untuk
mendapatkan nilai terbaik dalam upaya mendapatkan uang
dan apakah kompetisi adalah cara terbaik dimana perpecahan dapat dioperasionalkan.
Telah dikemukakan bahwa Purchaser-Provider Split telah mengakibatkan duplikasi, perpecahan dan hubungan permusuhan dalam pemerintah daerah (antar departemen, antara pembeli dan penyedia,
antara manajer senior dan Pekerja front-line) sehingga terjadi ketidakjelasan bahwa reorganisasi
di sepanjang garis pasar lebih efektif dari pada hierarki dalam pemberian pelayanan publik (Lewis et al.1996).
Poin
terakhir ini
secara eksplisit telah diakui oleh
pemerintah pusat Inggris dalam laporannya tentang persaingan kualitas
(Cabinet Office 1996). Meskipun laporan terakhir terkait subjek layanan pemerintah pusat untuk kontraktor yang kompetitif, kesimpulan umum juga
berlaku untuk pemerintah daerah karena banyak dari jenis
layanan yang sama-sama terlibat.
Dalam menemukan sumber
utama penghematan biaya adalah
cara kerja baru, terlepas
dari apakah layanan yang
disediakan oleh organisasi swasta
atau tim in-house, itu menyimpulkan bahwa keraguan
pada anggapan luas bahwa sektor swasta mampu membawa
efisiensi dalam sektor publik (Ibid p.8, para 3.18).
Oleh
karena itu
Laporan tersebut merekomendasikan selektivitas
yang lebih besar dalam penggunaan
persaingan untuk mengamankan penghematan
biaya, jawabannya adalah mungkin untuk
meningkatkan manajemen bukan
keluar dari kontrak (ibid.p.17, para.3053). Penghematan biaya lain muncul dari pengamanan skala ekonomi. Proses layanan
Re-Engineering memberikan
fleksibilitas yang lebih besar pada tim
in-house untuk menyarankan
pendekatan yang lebih efektif pada biaya
layanan pengiriman. Menghindari kontrak
layanan yang tidak terlalu kecil dan
tentu saja menjamin kompetisi
yang memadai. Meskipun demikian, persaingan harus tetap dinilai
dengan mekanisme lain untuk mencapai perbaikan nilai uang atau sifat kegiatan, kemampuan
pasar dan pendekatan terbaik yang
ditentukan berdasarkan kasus per kasus (ibid, hal.17,
para .3.49).
Khusus
pada pemerintahan daerah,
hubungan permusuhan dan perpecahan serta motivasi karyawan dapat dihindari dengan pengaturan twin-hatted yang memfasilitasi
tujuan yang sama dan kolaborasi antara pembeli dan
penyedia. Meskipun demikian, persaingan antar departemen
yang diciptakan oleh perpecahan jelas dapat menghambat pengembangan
kerjasama dan kemitraan (Rao
dan Young 1995). Oleh
karena itu, bertentangan dengan argumen
bahwa kekurangan dalam persaingan
antar departemen yang
disebutkan di atas, menjadi dampak utama pada strategi kebijakan
yang mungkin agak lebih rumit (lihat shaw et al 1993).
Kolaborasi, partisipasi
dan kerjasama mungkin lebih efektif dari pada kekuatan pasar, misalnya di mana para pekerja merasa memiliki proses internal dari pada
proses eksternal. Terlebih lagi dalam banyak kasus, berada pada sektor non-profit, Provider
tidak termotivasi oleh keuntungan dan pengguna jasa memiliki sedikit ruang dalam menentukan pilihan. Kedua karakteristik ini bertentangan dengan pasar swasta yang kental dengan teori. Kolaborasi juga mungkin
lebih murah dari pada kontrak yang
kompetitif terutama dalam
hal biaya pelaksanaan kontrak tender dan rezim pengawasan. Rezim yang digunakan untuk pengadaan barang publik mungkin tidak mudah
diadaptasi dalam penyediaan layanan sosial pribadi seperti pengumpulan sampah rumah tangga. Masukan
lebih formal, biaya transaksi yang mungkin jauh lebih besar (atau profesional
dari pada layanan manual (lihat Tabel 13.1).
Pertimbangan
lain
yang dipimpin pemerintah
Inggris mengumumkan bahwa
mereka berniat untuk menggantikan rezim CCT dengan Best
Value Regime yang lebih komprehensif (DOE 1997). Best
Value Regime tidak hanya akan
peduli
dengan
ekonomi dan efisiensi,
tetapi juga dengan efektivitas
dan
kualitas
pelayanan pemerintah daerah. Rezim baru
ini akan membahas efektivitas biaya (didefinisikan dalam Bab 13) dan akan mencakup
semua layanan pemerintah daerah, bukan hanya tentang mereka yang sebelumnya
tunduk pada CCT.
Akan
terus menjadi anggapan yang
jelas
bahwa dalam persaingan secara terbuka terdapat
provider potensial lainnya
di pasar. Otoritas lokal harus menunjukkan
persaingan harus sesuai dengan situasi tertentu. Oleh
karena itu, sementara persaingan ketat akan
terus menjadi bagian yang penting dari rezim
baru,
maka
tidak akan lagi menjadi
satu-satunya cara dalam
mengamankan nilai
uang.
Akibatnya, harus
diganti dengan voluntary competitive tendering (VCT) dalam
kerangka permisif yang menekankan
pilihan lokal dan akuntabilitas lokal (yaitu
suara) dari pada pusat. Hal ini sedang
diperpanjang dalam kegiatan pemerintah daerah lainnya termasuk manajemen perumahan kota.
Jasa profesional yang terkait dengan
konstruksi (teknik arsitektur dan
manajemen jasa properti), jasa komputasi
hukum, jasa keuangan, jasa pribadi dan administrasi perusahaan. Meskipun
Best Value Regime masih
berkembang pada saat
buku ini di tulis (I995 awal).
Ada kemungkinan bahwa Purchaser-Provider
Split akan dipertahankan untuk aspek penyediaan layanan pemerintah daerah. Best Value menyoroti kebutuhan bagi otoritas lokal
untuk menghasilkan informasi yang
berarti dan kuat agar orang-orang yang membayar untuk manfaat layanan mereka bisa juga untuk menilai
kinerja. Seperti yang ditunjukkan
oleh studi kasus di
bawah ini, rezim CCT umumnya telah gagal dalam melibatkan pengguna jasa dalam spesifikasi serta standar pengawasan pelayanan. Jika memiliki ekspektasi seperti itu, maka Best Value Regime akan
mengalihkan fokus lebih ke arah output dan outcome sehingga bisa mengatasi fokus yang berlebihan pada input dan proses di
bawah rezim CCT.
Sebuah Studi Kasus
Kualitas Layanan
Banyak poin yang
secara umum telah dianalisis di bagian atas, baik dalam Bab ini dan bab 13 yang
digambarkan dengan mempelajari dampak
dari kontrak yang kompetitif pada kualitas dua layanan: manajemen olahraga dan
rekreasi serta katering. Studi kasus tersebut sangat sulit diapresiasi dari keseluruhan aspek Purchaser-Provider Split, termasuk tender
yang kompetitif dan kualitas layanan.
Studi Kasus I: Manajemen
Olahraga dan Rekreasi
Manajemen Olahraga
dan rekreasi adalah studi kasus yang sangat menarik dibandingkan dengan layanan lain yang ada di bawah CCT,
manajemen tersebut memiliki variasi yang
lebih besar dan membutuhkan fleksibilitas
yang besar pula. Hal ini membuat evaluasi
tender pada kontrak yang bermasalah dan membutuhkan elemen yang lebih besar untuk negosiasi antara
klien dan kontraktor tentang karakteristik layanan termasuk juga persyaratan untuk meng-upgrade fasilitas modal
baik sebelum atau selama kontrak. Oleh karena itu kontraktor akan muncul dengan memiliki rentang
yang lebih dalam hal operasional
sehari-hari dan lebih ada potensi transaksi biaya yang tinggi (lihat
bab 13).
Diskusi umum
tentang jenis olahraga dan
fasilitas rekreasi yang disediakan oleh otoritas lokal yang tersedia di tempat lain (Bailey et al 1993). Karakteristik yang paling relevan adalah bahwa manajemen olahraga
dan rekreasi sama-sama bersaing untuk
mendapatkan pelanggan, karena keduanya memiliki pilihan dalam menggunakan (biasanya membayar) layanan, seperti
pembayaran jasa kebersihan.
Undang-undang CCT
mendefinisikan layanan sebagai pengelolaan pusat manajemen olahraga, lapangan golf, kolam renang dan sebagainya. Data LGMB
menunjukkan bahwa 56 persen kontrak manajemen
olahraga dan rekreasi sampai dengan tahun 1995 diberikan tanpa adanya kompetisi, hal itu juga terjadi pada manajemen katering (pendidikan
dan kesejahteraan). Rata-rata jumlah tawaran
per kontrak kurang dari dua. Namun, sebagaimana
yang telah dicatat, jumlah penawar
ini tidak akurat dalam mengukur tingkat kemampuan kontes.
Mungkin ada banyak penawar potensial yang benar-benar
melakukan penawaran karena mereka sudah tahu bahwa DSO beroperasi
secara efisien. Di sisi lain mungkin diperlukan waktu yang cukup bagi sektor swasta untuk mengembangkan agar bisa berkompetisi dalam kontrak. Meskipun demikian hal itu menjadi ancaman persaingan dari sejumlah penawar. Adanya persaingan tersebut mendorong DSO untuk meningkatkan efisiensi
operasional mereka.
Angka LGMD
juga menunjukkan bahwa lebih dari
empat-lima (non-franchise) masih bekerja bagi layanan in-house (91
persen dengan value dan 85 persen dari kontrak tahun 1995). Dengan kata lain, kontrak ini adalah normal
(lihat Gambar 4.2). Tingkat keterbatasan
kontrak untuk layanan ini dan untuk
layanan lainnya yang tunduk pada CCT
menunjukkan bahwa realisasi skala ekonomi oleh salah satu kontraktor memegang berbagai
macam kontrak kecil yang akan menjadi
signifikan hanya dalam waktu yang relatif pendek di pemerintah daerah (lihat
chapter2).
Rata-rata nilai
kontrak hanya di bawah 1O.5
juta per tahun
1995, biasanya pada biaya manajemen dasar. Audit Commission (1993) memperkirakan bahwa biaya sisi klien rata-rata 1,5
persen dari total pengeluaran tahunan terendah kedua dari rata-rata di sisi klien setelah katering
(pendidikan dan kesejahteraan). Diduga karena alasan yang sama
dengan sebuah serangan
serupa keterlibatan efektif pengguna (lihat Studi kasus 2 di bawah).
Pengawasan harian
atau mingguan dari kontraktor
(dua-pertiga dari otoritas lokal) dan kedua kegiatan rutin (sebagai lawan responsif)
pertemuan dengan kontraktor (dua pertiga) dan
penggunaan sistem manajemen mutu (a firth ) untuk monitoring fasilitas
terbaik dalam layanan ini. Sejumlah
59 persen dari pemerintah memiliki prosedur keluhan pelanggan di tempatnya. Namun, untuk sementara manajemen olahraga dan
rekreasi memiliki
sistem pengawasan yang paling berkembang dan beragam, hanya menggunakan 7 persen teknik pengambilan sampel pelanggan. Hanya seperlima dari pemerintah
memiliki persyaratan kontrak bahwa kontraktor mencapai sertifikasi di bawah BSEN ISO 9000.
Walsh dan
Davis (1993) menemukan
bahwa di antara 40 panel
dari pemerintah Inggris, ada kecenderungan untuk spesifikasi lingkungan dalam kontrak pada dua
bagian yang pertama menyatakan secara umum posisi otoritas
secara filosofis dan strategi (misalnya, orang berbasis rekreasi, bukan olahraga
elit dan keunggulan olahraga),
rincian spesifikasi kedua menyediakan
untuk program, peralatan, staf dan sebagainya. Oleh
karena itu, menjadi layanan yang kompleks dan keahlian dan pengetahuan
yang terperinci dari kontraktor. Masih ada lagi kecenderungan dalam manajemen rekreasi dari pada pada layanan
lain untuk meminta kontraktor
menafsirkan kondisi kontrak dalam kasus ini tidak mungkin
menemukan definisi yang tepat. Selain itu, tanggung
jawab utama dalam pemasaran adalah program dan fasilitas, serta untuk pengembangan layanan bertumpu
pada pihak kontraktor.
Semua otoritas
panel Walsh dan
Davis mengadopsi kekurangan dalam jaminan kontrak, biasanya dengan berbagi pendapatan atau
bagi hasil (lihat Bailey 1995, ch. 15 untuk pembahasan lengkap dari berbagai jenis kontrak), ini berarti bahwa
otoritas klien menutupi biaya
hutang dan biaya pemeliharaan
gedung serta membayar jasa
manajemen kepada kontraktor. Seperti
yang telah disebutkan dalam
Bab 13, hal ini untuk meningkatkan kemampuan
lomba dengan mengurangi biaya masuk
yang tinggi dan menghapus biaya tinggi untuk jalan keluar.
Kontraktor menjumpai biaya lain dan mempertahankan pendapatan dari retribusi sesuai dengan kesepakatan
mengenai bagi hasil untuk keuntungan klien. Pengaturan ini meminimalkan
risiko untuk klien dan menyediakan insentif bagi kontraktor untuk meningkatkan tingkat penggunaan yang ada. Memang,
bagaimanapun, memerlukan pengawasan keuangan yang cukup intensif (meskipun hal ini dibantu oleh sistem).
Walsh dan
Davis (1993) menemukan
bahwa proporsi pekerjaan diperiksa
lebih dari dua kali lipat dari 15 persen sebelum
CCT hingga 40 persen
setelahnya (dibandingkan dengan peningkatan untuk semua layanan dengan angka 24-42 persen). Karena
sifat dari layanan, pengawasan dirasa memerlukan campuran aktivitas seorang generalis dan spesialis.
Manajemen olahraga
dan rekreasi memanfaatkan sampling statistik yang relatif luas. Penggunaan komputer pada khususnya untuk
memantau aspek keuangan kontrak. Mereka juga melakukan pemantauan sistematis dalam pandangan pengguna
yang berarti bahwa ada keterlibatan
masyarakat untuk memantau dalam hal manajemen olahraga
dan rekreasi. Ini menggambarkan suasana politik desentralisasi
melalui konsultasi yang dapat melengkapi desentralisasi ke pasar (lihat Gambar
4.2). Walsh dan Davis menemukan bahwa 78 persen dari panel otoritas menggunakan
public surveys, 35 persen memanfaatkan
user complaints, 19 persen menggunakan user panels, dan 11
persen telah membentuk user consultative committees untuk layanan. Namun,
Wheeler dan Richards (1993) berpendapat bahwa adanya penyebaran tindakan-tindakan kinerja non-keuangan menjadi sangat sulit, jadi bukan
tidak mungkin untuk mengawasi efektivitas kebijakan pembangunan olahraga.
Layanan
tersebut harus
tegas berdasarkan strategi dalam pemerintah daerah. Kontrak
manajemen olahraga dan rekreasi mencakup otoritas sikap politik yang
diterapkan pada kebijakan rekreasi. Sikap politik itu mungkin berhubungan dengan pertimbangan
ekuitas dalam distribusi layanan output antar kelompok yang berpendapatan tinggi dan
rendah. Hal ini juga
mungkin berhubungan dengan pertimbangan
efisiensi dalam olahraga yang tidak baik uang dimiliki pribadi secara murni tetapi sebaliknya, menunjukkan eksternalitas yang positif (dan karakteristik jasa
yang baik) dalam hal meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan. Namun ada
beberapa kekhawatiran bahwa perpecahan kontraktor klien akan mengakibatkan perpecahan dari layanan,
dan juga penurunan departemen spesialis
rekreasi yang berdiri sendiri akan berarti hilangnya tenaga terampil dan berpengalaman.
Dalam hal ini pihak yang berwenang akan lebih kecil kemungkinannya untuk
mengembangkan olahraga dan strategi rekreasi. Hal ini menggambarkan pengetahuan
keterampilan embeddedness (lihat Bab 13).
Penelitian
di awal 1990-an oleh Dewan Olahraga menemukan bahwa kurang dari setengah dari
otoritas lokal memiliki strategi rekreasi secara umum dan hanya sepertiga
olahraga dan rekreasi yang memiliki strategi khusus. Kebijakan pembangunan
olahraga jarang disertai dengan target yang spesifik dan terukur. Oleh
karena itu,
kontraktor diberi parameter kebijakan dalam bekerja. Dalam kebanyakan kasus otoritas klien lokal tidak mampu untuk mengawasi output dan tidak dapat menentukan apakah kebijakan
benar-benar dilaksanakan serta tujuan dapat tercapai. Hal ini menggambarkan rasionalitas yang terbatas
(lihat Bab 13).
Awalnya kontrak
biasanya disusun oleh grup-grup kecil dari pegawai rekreasi yang profesional
(pada kedua sisi klien dan kontraktor), beberapa kali dibantu oleh konsultan
dan mengikuti saran dari asosiasi pemerintah daerah dan badan-badan seperti lembaga rekreasi dan pengelolaan
fasilitas (Walsh dan Davis 1993). Ketergantungan
pada penggunaan yang profesional
terjadi karena tidak adanya kebijakan
tertulis secara eksplisit dalam sistem informasi manajemen yang memadai
(termasuk basis data). Memang, kurangnya tinjauan strategis dari layanan selama
persiapan kontrak tampaknya telah menjadi aturan bukan pengecualian (Nicholls
1995a). Hal ini menimbulkan kesulitan tertentu terhadap petugas klien dan orang
lain ketika menyusun spesifikasi kontrak, misalnya bagaimana program dan harga
yang dipromosikan dalam pencapaian tujuan layanan.
Seperti
yang tergambar dari 12 sampel otoritas departemen rekreasi lokal,
Nicholls menunjukkan bahwa, dalam menciptakan peran baru dari petugas klien, CCT telah
memperkenalkan stakeholder yang kuat (didefinisikan dalam Chapter 13)
untuk konteks kebijakan dan layanan
rekreasi. Petugas baru tersebut bisa memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menentukan
arah layanan melalui spesifikasi kontrak. Mereka juga bisa
mempengaruhi keputusan masa depan
keputusan melalui disipasi
informasi baru yang dikumpulkan selama fungsi pengawasan mereka (Nicholls 1995.p.52). Ini adalah harapan, karena menurut
penelitian Nicholls, intervensi anggota dewan kepada mereka yang tidak memiliki
keahlian teknis, ada waktu yang cukup bagi mereka untuk menjadikan kontrak
secara penuh pada tender dan mereka lebih peduli dengan siapa yang memenangkan
kontrak (lebih memilih DSO untuk menang dari pada kontraktor swasta)
dibandingkan dengan siapa yang tepatnya berada di dalamnya.
Sementara itu
lebih sulit bagi non-spesialis untuk terlibat di dalamnya. Banyak
kontrak yang dibuat ketentuan untuk
riset pasar dan untuk
meningkatkan keterlibatan user
melalui ucapan, pertemuan tahunan terbuka secara umum dan atau user surveys, serta sistem pengawasan informal. Tindakan tersebut diduga dibuat oleh
user terbukti adanya fakta pembayaran untuk layanan dan alternatif yang
ada. Dalam hal ini, user memiliki tagihan exit
as well as voice (lihat Chapters 3 dan 4). Oleh karena itu pelayanan harus responsif terhadap pelanggan. Yang
dikhawatirkan adalah kebutuhan
selama periode kontrak untuk memastikan
perkembangan layanan sebagai respon terhadap perubahan selera dan tuntutan, selalu disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Spesifikasi kontrak statis dapat menghambat evolusi layanan
responsif kepada pelanggan.
Namun, Nicholls
(I995a) berpendapat bahwa petugas
klien secara selektif bisa memberi peluang anggota dewan informasi
dalam rangka mempengaruhi keputusan mereka pada isu-isu tertentu (yang berbeda dengan tingkat tinggi dalam
pengambilan keputusan). Pengaruh tersebut terkendala karena petugas klien bertindak
sebagai bagian dari perusahaan
pusat bersama dengan kepala petugas rekreasi
dan mungkin komite rekreasi. Namun peningkatan frekuensi anggota dewan yang bertemu dalam komite dan
peningkatan volume informasi itu berarti petugas klien
dapat mengarahkan pengaruh yang
lebih besar pada pengembangan strategi
layanan. Hal ini konsisten sesuai
dengan Niskanen’s model of bureucracy tentang birokrasi dan kerangka analisis Public Choice (lihat
bab 5, 11 dan
13).
Selain kemungkinan
distorsi petugas klien
atau tujuan layanan melalui penggunaan informasi secara selektif,
Nicholls (I995b) berpendapat
bahwa sulit untuk merancang kontrak yang memastikan perilaku kontraktor untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Spesifikasi kontrak yang cukup fleksibel untuk memungkinkan
layanan beradaptasi terhadap perubahan permintaan
masyarakat (misalnya untuk kelas
aerobik sebagai langkah pengurangan pengangguran) membutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi, oleh karena
itu tingkat rasionalitas yang
tinggi dibatasi sesuai dengan
kebutuhan layanan di masa depan, bersama-sama
dengan ruang yang cukup untuk para oportunis di bagian kontraktor karena
keberagaman sifat layanan yang ditentukan dalam kontrak. Oleh
karena itu,
ada trade off antara kebutuhan untuk spesifikasi kontrak
yang fleksibel dan kebutuhan untuk
membatasi ruang lingkup perilaku kontraktor yang oportunistik.
Perilaku oportunistik
dapat terjadi pada tahap pra kontrak tender
yakni mengajukan tawaran realistis
(untuk pembayaran pengelolaan layanan). Jika berhasil maka akan terjadi seleksi yang
merugikan (yaitu kutukan
bagi pemenang lihat Bab 13). Kontraktor tersebut
bisa mengeksploitasi spesifikasi kontrak
yang fleksibel untuk mengurangi biaya manajemen, misalnya mempekerjakan staf yang kurang memenuhi syarat. Namun, yang harus dilihat insentif jangka pendek tersebut harus diimbangi dengan insentif jangka panjang yang berkaitan dengan perpanjangan kontrak dari pihak kontraktor untuk memberikan kualitas layanan yang baik sesuai dengan semangat yang berbeda dengan surat kontrak. Hal ini
paling utama paada kasus kontraktor telah
berinvestasi dalam fasilitas modal yang tidak mereka miliki.
Implikasi kebijakannya
adalah pemerintah daerah harus mencari
investasi modal bagi kontraktor (untuk menciptakan aset di sisi kontraktor, menyeimbangkan
di sisi klien) dan
batas waktu kontrak (untuk
mengantisipasi datangnya ancaman persaingan). Periode
kontrak yang lebih pendek juga memfasilitasi respon yang cepat untuk
pembelajaran bagi klien dengan pengalaman dan pengembangan pasar, kontraktor mungkin
akan mendukung kontrak
lama dengan investasi yang terbatas,
DSO (tidak seperti perusahaan swasta) tidak memiliki
akses kepada investasi pembiayaan. Kualifikasi ini belum tentu meniadakan kebutuhan untuk memperketat spesifikasi surat kontrak sehingga mengurangi
ruang untuk perilaku oportunistik kontraktor. Nicholls (l995b) berpendapat bahwa pemerintah lokal yang kecil akan menghadapi kesulitan tertentu dalam hal ini karena mereka memiliki petugas khusus yang
lebih sedikit untuk bekerja sesuai spesifikasi kontrak. Otoritas tersebut mungkin memiliki konsultan untuk mencapai tujuan tersebut.
Kunci
hubungan
dalam konteks ini adalah antara petugas klien
dan Kontraktor (misalnya manajer DSO), salah
satu yang Nicholls gambarkan
sebagai investasi taktis jangka panjang dalam hubungan kontrak (jika tidak altruisme). Kedua belah pihak yang berasal dari nilai
ekonomi bisa melestarikan kontrak.
Pada akhirnya, mereka harus memiliki
hubungan kerja yang baik sama lain jika
menginginkan pelayanan yang berkualitas yang
diberikan sesuai dengan semangat kontrak
sehingga kemungkinan perpanjangan
kontrak akan meningkat. Seperti
hubungan kerja yang telah diperbaiki
dalam kontrak yang telah disusun oleh kelompok-kelompok profesional kecil dalam rekreasi pada sisi klien dan sisi kontraktor.
Penyediaan pelayanan yang berkualitas dapat
menyebabkan akumulasi modal politik yang juga dapat meningkatkan peluang
keberhasilan dalam penawaran untuk sumber daya tambahan dalam layanan ini dan
untuk kontrak yang akan dinegosiasi ulang dengan kesepakatan bersama. Insentif
tersebut secara substansial bisa berkurang jika salah satu kontraktor tidak
mengharapkan atau menginginkan perpanjangan kontrak, manajer DSO yakin bahwa
ada kebutuhan untuk menjaga persaingan di masa depan, baik karena otoritas
lokal atau adanya kontraktor yang menentang faktor eksternal. Ruang lingkup
oportunisme meningkat dalam kasus tersebut. Mengingat secara umum proses
manajemen telah diperbaiki bisa diterima, pada setiap pos transaksi biaya CCT harus
dibandingkan dengan organisasi slack (ketidakefisienan) yang ada
sebelum CCT (lihat bab 5).
Kesimpulan Kompetisi
pada manajemen olahraga dan rekreasi
Singkatnya, manajemen
olahraga dan rekreasi ini merupakan studi kasus yang menggambarkan perlunya pertimbangan
terhadap bentuk kelembagaan dan sifat
kontrak (termasuk pembagian pendapatan atau keuntungan), ketika mempertimbangkan
tingkat validitas ekonom neoklasik yang berpendapat bahwa persaingan
selalu meningkatkan efektivitas biaya
(meningkat kualitas atau pengurangan biaya). Hal ini jelas bahwa kontrak manajemen olahraga dan rekreasi
harus mencapai keseimbangan yang memuaskan terhadap sejumlah kriteria
yang berpotensi bertentangan: Tujuan otoritas sosial adalah keuangan yang obyektif dari kontraktor,
tuntutan perubahan kebutuhan pengguna
untuk mempertahankan kemiripan persaingan yang efektif melalui adanya peningkatan
persaingan yang akan meningkatkan
kualitas layanan. struktur governance
adalah faktor yang sangat penting.
Studi
kasus
2: Katering makanan sekolah
Layanan makanan
sekolah telah mengalami perubahan
substansial selama tahun 1980, sebelum pengenalan CCT
(Audit Commission 1993; Walsh dan Davis1993).
Nilai kontrak tahunan rata-rata dalam layanan ini adalah 1,7 juta pada tahun
1994, setengah dari kontrak saat
ini telah dimenangkan tanpa persaingan dari perusahaan katering swasta (LGMB
1994). Rata-rata jumlah tawaran per kontrak kurang
dari dua, pemerintah daerah
memiliki organisasi pelayanan secara langsung (DSO) memenangkan 75 persen
dari nilai kontrak 85 persen.
Meskipun
secara umum
kurangnya kompetisi pada kontrak dalam manajemen olahraga
dan kompetisi untuk pelanggan
(dalam hal ini outlet makanan
di luar sekolah). Sekali lagi
seperti manajemen olahraga dan rekreasi, kontraktor
memiliki insentif untuk menarik pelanggan dan meningkatkan penjualan karena memiliki efek
positif pada pendapatan. Oleh karena itu, semakin penting untuk mempertimbangkan persepsi konsumen, baik karena sekolah telah
meningkatkan otonomi dalam mengelola anggaran mereka sendiri
(lihat bab 12) dan
karena pembayara siswa bisa ke tempat lain. Pandangan mereka bisa diharapkan untuk berhubungan dengan spesifikasi kontrak dan monitoring.
Dibantu dengan penyediaan informasi yang efektif dan penggunaan yang efektif dari sistem complaint dan penampungan
saran. Pada tahun 1980 pendidikan di Inggris memberi otoritas pendidikan lokal (Kurang) kontrol atas tuduhan
dan standar gizi untuk
makanan yang disajikan di sekolah mereka. Oleh karena itu mengubah
keseimbangan kekuasaan antara berbagai
kelompok pemangku kepentingan. Siswa di sekolah
hanya salah satu dari
sejumlah pemangku kepentingan, termasuk ahli gizi (yang
menggunakan kriteria ahli untuk akses kualitas makanan).
Komentator kebijakan sosial (yang berpendapat bahwa makanan sekolah gratis merupakan instrumen kebijakan sosial yang mendukung
keluarga yang berpenghasilan rendah), perbendaharaan
Inggris (yang berkaitan
dengan biaya pengeluaran publik
dari makanan), serikat
buruh (yang menyukai insentif tenaga kerja, makanan
yang dimasak untuk pekerjaan
proyek), orang tua siswa (yang mungkin menganggap
makanan sekolah sebagai sarana yang berguna untuk menjaga anak-anak di sekolah sepanjang hari) dan murid (yang dapat
diharapkan untuk menilai makanan
dalam hal individu dari pada pilihan secara kolektif, terutama karena
hal rasa dan model).
Akhirnya, kerangka kelembagaan menentukan jumlah dan
berbagai pemangku kepentingan (lihat Bab 1.3) yang pandangannya diperhitungkan
ketika mendefinisikan dan pengawasan kualitas. Definisi tersebut tentu
dipengaruhi oleh kekuatan dari berbagai kelompok pemangku kepentingan, baik
dalam hal daya beli atau kekuasaan politik.
Bahkan jika
ahli gizi menganggap siswa dan orang tua mereka tidak kompeten dalam menilai
makanan apa yang baik bagi mereka (yaitu makanan sekolah dianggap sebagai jasa yang
baik), para siswa (bukan orang tua) memiliki pilihan apakah membeli dan kemudian
menyantap makanan, membeli makanan tapi belum membuang, atau tidak membeli
makanan sama sekali. Kedua kurangnya pelanggan dan sampah makanan mungkin menjadi
langkah-langkah proxy kualitas pelayanan untuk dinilai oleh pengguna
layanan utama.
Tahun
1980 Undang-Undang mengurangi pengaruh gizi dengan
cara melakukan persyaratan hukum untuk
membayar sewa penyedia makanan yang
dimasak secara tradisional seperti daging, dua jenis sayuran
dan makanan penutup. Jenis makanan
semakin tepat di sekolah yang multi
etnis dan dalam selera makanan internasional (seperti pizzas,
pasta dan beefburgers).
Sebelum tahun 1967, Departemen Keuangan membayar kekurangan subsidi khusus
untuk setiap sekolah yang menyajikan makanan. Namun, subsidi yang
dimasukkan ke dalam block grant umum (lihat Bab 9) yang
dibayarkan kepada pemerintah daerah agar sekolah menerima insentif yang lebih besar untuk mengadopsi gaya layanan kafetaria dengan makanan ringan (bukan
makanan padat karya yang dimasak) untuk mengurangi biaya mereka. Selain itu, pada 1915, Departemen
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan mencatat bahwa standar gizi yang ditetapkan tidak
sesuai dan memungkinkan siswa untuk
memilih dari menu sesuai dengan yang mereka inginkan (Rose dan Falconer 1992). Oleh
karena itu,
tahun 1980 Undang-Undang memperbolehkan menyediakan makanan ringan
sebagai bagian dari layanan kantin. Anak-anak
sekolah dapat memilih untuk membeli makanan ringan seperti biskuit dan minuman sebagai
pelengkap makanan dari rumah yang
dimakan di kantin. Oleh karena
itu, siswa memiliki tingkat
yang jauh lebih besar dari satu dekade
yang lalu.
Lebih
dari 4 juta makanan sekolah disajikan
setiap hari di Inggris, lebih
dari 1 juta anak yang menerima makanan
gratis di 1995-1996 karena orang tua mereka memenuhi syarat untuk
menerima bantuan pendapatan (pembayaran kesejahteraan negara). Jumlah anak yang memenuhi syarat memperoleh makanan sekolah gratis meningkat
tajam selama awal 1990-an.
Angka-angka ini memenuhi syarat adanya persepsi bahwa pelanggan membayar
dikarenakan proporsi siswa benar-benar membeli
untuk mendapatkan piala bergilir, terutama menurun
secara drastis dalam beberapa economically-depressed
LEAs. Ini menekankan implikasi kesejahteraan yang semakin penting dari makanan sekolah
untuk kelompok yang berpenghasilan
rendah.
Sementara pekerjaan
dengan gaji rendah yang dilengkapi dengan kredit keluarga, keuntungan negara mencakup ketentuan pada biaya makanan
di sekolah, namun anak-anak
keluarga tersebut juga sangat tergantung pada makanan di sekolah
yang menyediakan proporsi yang besar
dari kebutuhan gizi sehari-hari mereka dengan biaya yang relatif rendah. Makanan di sekolah, dengan biaya rata-rata adalah £ 1,09 pada tahun 1995, menyediakan antara 30
dan 43 persen
dari rata-rata asupan
energi anak setiap hari (Doughty 1995). Namun antara
tahun 1979 dan 1991, jumlah anak-anak di Inggris yang membeli makanan di
sekolah turun dari 64 persen ke 42
persen. Selain itu, keadaan semakin menurun sampai pada tingkat makanan gratis
di sekolah untuk secondary pupils (berusia antara 11 dan 15 tahun) dari pada
untuk siswa SD (usia 5-11) di London menunjukkan klien yang lebih diskriminatif
(Brindle 1994).
Penyebab tren
ini seharusnya disebabkan anak-anak semakin lebih memilih membeli makan siang
yang dikemas untuk mengurangi waktu antrian (dan memungkinkan waktu bagi klub
makan jam siang dan kegiatan lainnya), dan agar mereka dapat duduk dengan siapa
yang mereka pilih, untuk mengurangi biaya, dan untuk memudahkan
siswa yang bersifat individual dalam memilih makanan. Orang tua juga
memiliki kontrol lebih untuk
menjaga pola makan anak-anak mereka, termasuk melengkapi dengan
makan malam, untuk layanan makanan CCT
di sekolah telah meningkatkan tekanannya (pada kedua kontraktor
swasta dan DSO, yang terakhir harus mencapai
5 persen per tingkat dalam pengembalian modal) untuk menjual makanan dan snack yang anak
inginkan, bukan apa
yang mungkin dianggap baik bagi
mereka.
Namun,
sudah sejak lama menjadi kekhawatiran
tentang aspek kesehatan dari pola makan ( adalah
akibat negatif yang timbul dari pola makan yang tidak seimbang atau gizi buruk). Keprihatinan
ini telah disorot sejak penghapusan persyaratan undang-undang pada tahun 1980. The National Heart Forum (NHF) yang mewakili 35 organisasi
kesehatan dan gizi di Inggris,
berpendapat bahwa sebagai konsekuensi kualitas
gizi makanan sangat bervariasi
di antara berbagai bagian negara dan pola makan anak-anak telah
memburuk meskipun terdapat pilihan yang lebih banyak
(Weale 1995). National Heart
Forum dan The School
Meals Campaign berpendapat bahwa banyak makanan di
sekolah yang mengandung
terlalu banyak lemak dan
sedikit yang memeriksa secara berkala isi
apakah makanan di sekolah itu mereka sehat. The National Heart Forum mencatat
anak sekolah di Inggris memakan makanan yang mengandung banyak lemak, gula dan garam
dan sedikit buah dan sayuran. Pola
makan seperti itu diduga menyebabkan penyakit jantung dan kanker di kemudian hari,
serta kerusakan gigi dan obesitas masa kanak-kanak. Baru-baru ini, temuan BSE dalam daging sapi (penyakit sapi gila) merugikan aspek kesehatan lainnya yang berkualitas, yaitu bagaimana makanan diproduksi. Beberapa LEA
sendiri memutuskan untuk menghapus produk daging sapi dan / atau daging sapi murni
dari menu di semua sekolah,
beberapa hanya pada sekolah tingkat dasar
(dengan alasan bahwa para murid sekolah menengah mampu membuat keputusan sendiri) dan sebagian
hanya bisa memutuskan untuk mengubah
menu setelah berkonsultasi baik kepala sekolah dan
/ atau orang tua.
Pola pengambilan
keputusan menggambarkan sejumlah poin.
Pertama, kompleksitas persepsi tentang siapa pelanggan dan sejauh mana konsumen individu dari kelompok usia yang berbeda dapat dibiarkan untuk membuat keputusan
konsumsi mereka sendiri berdasarkan
pandangan yang saling bertentangan dari
aspek kesehatan yang terkait dari makanan yang mereka makan. Kedua, LEAs memiliki
peran paternalistik protektif
yang terpisah dari kedua Departemen Kesehatan dan Departemen perikanan pertanian dan makanan di Inggris (dan bahkan dari Uni Eropa). Ketiga, istilah ini menekankan peran atau tekanan kelompok profesional (serta dalam) pemerintah daerah. Keempat, aspek pendapatan
perlindungan makanan sekolah gratis
menekankan karakteristik layanan kesejahteraan sosial.
Jelas
bahwa
ada berbagai aspek atau kualitas makanan di sekolah seperti nilai gizi, kepercayaan
masyarakat terhadap keamanan makanan
siap saji, dan pilihan siswa.
Namun, kriteria kualitas yang cocok untuk dimasukkan dalam kontrak harus jauh lebih
spesifik. contoh ilustrasi kontrak
katering sekolah disediakan
oleh Audit Commission (1993). antara
lain, kontrak tersebut diharapkan
dapat menyatakan bahwa makanan di
sekolah harus bergizi (mungkin
menggunakan pedoman sukarela dari
pemerintah pusat) dan lezat, didasarkan pada perputaran siklus four-week
cycle menu, dapur yang
teratur diperiksa sesuai dengan peraturan kesehatan dan keselamatan, dan dengan a hotline for complaint. Mungkin, ini
juga memerlukan layanan kantin (untuk memungkinkan fleksibilitas siswa mengenai waktu dan teman
makan siang) dan bahwa makanan
yang dimaksudkan disediakan dalam keadaan panas. Beberapa kriteria tersebut bersifat teknis dan karenanya mudah untuk memantau (seperti
suhu). Tapi siapa yang harus menentukan
apa yang ada di menu, apa yang merupakan makanan 'lezat'
dan seberapa efektif keluhan ditangani?
Ini adalah
tanggung jawab manajemen untuk dalam
menyediakan kepemimpinan, komitmen dan dukungan yang diperlukan untuk mengembangkan
jaminan kualitas. Oleh karena itu
penting bahwa manajemen (baik di tingkat sekolah individu atau tingkat otoritas
pendidikan lokal) memiliki pemahaman yang jelas tentang jaminan mutu
dalam hal makanan di sekolah. Selain kualitas Input (bahan
untuk makanan sekolah dan sebagainya), pendidikan dan pelatihan (pemeliharaan kebersihan makanan dan sebagainya) adalah
komponen penting dari proses
produksi dalam rangka meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan
untuk mendorong partisipasi mereka
dalam perbaikan kualitas.
Hasil
dari efektivitas final output tergantung pada kedua aspek
teknis dan perilaku kualitas. Aspek perilaku
terkait dengan bagaimana (atau apakah) output digunakan dan sejauh
mana itu dapat memenuhi kebutuhan
atau keinginan pengguna.
Perilaku murid sehubungan
dengan pilihan makanan di sekolah
yang merupakan kasus dalam pemilihan, memilih
atau tidak makan sejak awal khususnya untuk produk makanan.
Hal
ini dipertanyakan apakah kriteria kualitas kontrak tersebut menghasilkan
tingkat kepuasan yang lebih besar di kalangan pengguna jasa. Komisi Audit menemukan
bahwa sebelum CCT, konsumen sering tidak
puas dengan layanan yang disediakan. Setiap spesifikasi biasanya
ditetapkan oleh departemen layanan bukan oleh kepala sekolah pada titik
penyediaan layanan. Apalagi spesifikasi tersebut tidak selalu diikuti dan sulit bagi konsumen untuk memperoleh ganti rugi. Komisi mengatakan bahwa semua ini
harus berubah sebagai hasil pengenalan CCT.
Bahkan, survei dari 150 sekolah yang dilakukan oleh Commissions
Auditor’s adalah contoh dari pihak berwenang yang mengungkapkan ketidakpuasan yang signifikan terhadap
penyediaan jasa katering. Dalam jawaban atas pertanyaan? Seberapa baik biaya
yang anda keluarkan untuk kontrak memenuhi dalam kebutuhan anda? hampir
sepertiga dari responden menjawab 'buruk' atau sangat tidak baik (Audit
Commission 1993). Meskipun berdasarkan persentase sampel yang sangat kecil,
hasil ini didukung oleh survei lain pada dampak dari manajemen lokal atau
Sekolah (LMS) inisiatif dengan lebih dari seperempat responden menilai
pelayanan menjadi miskin atau sangat miskin (LGMB 1992).
Penjelasan ini melanjutkan ketidakpuasan yang mungkin ada pada putaran pertama kontrak yang cenderung pada input atau
proses. Penjelasan yang mungkin ini
didukung oleh fakta bahwa, layanan
yang tunduk pada CCT, Katering itu telah ditemukan untuk menjadi layanan jika
ada kegagalan setidaknya untuk melaksanakan berdasarkan kontrak,
begitu beragamnya layanan seperti
pembersihan bangunan dan alasan pemeliharaan setelah mengalami tingkat kegagalan tertinggi (Walsh dan Davis
1993). Meskipun
demikian, Walsh dan Davis menemukan bukti penurunan
pilihan, kebosanan menu dan beralih dari
yang segar kepada makanan beku,
mungkin dijelaskan oleh lingkup yang terbatas
untuk penghematan biaya lebih lanjut disebutkan di atas.
Saat
ini dengan pengecualian yang sangat kecil pada
kontrak dalam institusi tunggal, sebagian besar kontrak berkaitan dengan semua
layanan yang harus dipenuhi, ini mungkin menjadi sangat signifikan di sekolah terdapat perbedaan budaya makanan sesuai proporsi etnis dan agama minoritas.
Hasil penelitian
yang diuraikan dan dianalisis di
tempat lain (Bailey1998 b)
menunjukkan bahwa pengguna akhir dari layanan makanan
sekolah (yaitu siswa itu sendiri) relatif kurang
terwakili dalam prosedur jaminan
kualitas.Hasil ini mungkin
yang tak terelakkan dalam
konteks
kelembagaan dan kebijakan di mana layanan makanan
sekolah beroperasi. Meskipun
demikian, mereka yang akhirnya
memakan makanan (atau yang memilih untuk tidak makan) tidak
signifikan terlibat dalam penentuan kriteria kualitas. Peran
mereka cenderung residualized dengan pengaduan, setelah pelayanan memuaskan. Oleh
karenanya penentuan suara mereka
terkait standar belum meningkat secara
signifikan. Sementara pengguna memiliki kekuatan untuk keluar dari
katering sektor swasta dengan lingkungan sekolah, hal ini dibatasi oleh
tingginya tingkat ketergantungan pada makanan sekolah gratis di LEA tertentu.
Penyediaan makanan gratis menjadi bagian dari kebijakan sosial dari pemerintah
daerah dengan lingkungan multiply yang dirampas dalam wilayah
administrasi mereka. Namun demikian, faktanya bahwa proporsi tinggi dari
makanan gratis yang disediakan seharusnya bukan dari diri sendiri sebagai syarat
sejauh mana siswa memiliki hak suara dalam penentuan kualitas.
Dalam
prakteknya, bagaimanapun
representasi pandangan pengguna dioperasionalisasikan melalui kepala sekolah atau melalui
perwakilan orang tua pada badan
pengelola sekolah. Siswa sendiri
tampaknya dihadapkan pada pilihan
terbatas melalui layanan kafetaria.
Bailey (1998b)
menemukan bahwa pendekatan kualitas (berbasis nilai atau berbasis pengguna
lihat bab 13)
itu sangat ditentukan
oleh anggota yang terpilih dan
manajer layanan. Anggota terpilih
dapat bertindak atas nama pengguna jasa atau mereka
menggabungkan sendiri nilai-nilai
ke dalam kualitas layanan. Jika pada kenyataannya, anggota hanya menyetujui (bukan
memulai) kebijakan yang direkomendasikan oleh manajer layanan,
maka pendekatan manajerial lebih dominan. Rekomendasi manajer
sudah bisa memasukkan
nilai yang ditetapkan oleh politisi
lokal, sehingga tidak
ada lagi kebutuhan untuk memulai spesifikasi
kontrak dari kebijakan
layanan. Namun, akan lebih
sulit bagi politisi lokal untuk secara aktif mewakili pengguna (sekolah dan siswa
mereka) dalam kasus seperti itu.
Standar
kualitas
yang dibutuhkan hampir selalu ditentukan oleh pembelian otoritas lokal,
pengguna saat ini menampilkan hanya seperempat potensi kasus pengguna di masa
depan. Prosedur Pengaduan belum diprioritaskan sebagai
aspek kualitas dari manajemen. Sebaliknya ada pendekatan yang lebih luas untuk pengaturan
dan standar pengawasan.
Kesimpulan
pada
makanan sekolah
dan kompetisinya
OCT dan LMS telah memberikan siswa
sekolah dan orang tua mereka lebih
baik terhadap kekuasaan politik dan
pasar yang mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan makanan sekolah gratis di beberapa otoritas. Dalam pengertian ini, kualitas makanan sekolah merupakan sebuah konsep politik dan semakin tunduk pada kekuatan pasar. Definisi kualitas memerlukan pendekatan pluralistik yang harus didukung
oleh komunikasi yang efektif antara semua pemangku kepentingan sehingga
memungkinkan pencapaian kualitas
dalam kerangka kerja yang secara
ekonomis efisien, dinamis dan
responsif.
Studi
kasus ini telah memberikan penjelasan tentang keberagaman
sifat kualitas pelayanan dalam katering makanan sekolah. Untuk percaya
bahwa persaingan tentu akan mengarah pada peningkatan kualitas layanan seperti yang dirasakan
oleh pengguna jasa. Dampak terhadap kualitas pelayanan pada akhirnya tergantung pada cara di mana kompetisi perubahan
praktek manajemen. Mengubah hubungan antara
manajer dan politisi lokal dan
perubahan pengaruh keuangan atau
sekolah (dalam hal pemberian
kontrak mereka sendiri) dan terhadap siswa mereka (dalam memilih membeli atau tidak membeli makanan).
KESIMPULAN
Bab
13 menjelaskan bahwa ada ruang yang cukup besar untuk kompetisi yang akan diperkenalkan dalam sektor pemerintah daerah. Dari sekian banyak cara di mana kompetisi
dapat diperkenalkan. Purchaser-provider
split yang paling radikal dalam hal implikasinya
bagi struktur pemerintahan lokal
dan fokus pada efektivitas biaya
jasa. Namun, meskipun secara logika deduktif dari purchaser-provider split, bukti
di UK bahwasannya pemerintah daerah
terus peduli khususnya pada input dan proses bukan hanya pada
output dan outcome.
Memang, purchaser-Provider split tampaknya telah mengakibatkan pemerintah daerah Inggris lebih memperhatikan Input dan proses karena adanya formalitas dari kontrak.
Kekhawatiran ini menembus setiap tahap rezim CCT dari prosedur pra-seleksi (daftar pendek), melalui evaluasi tender dan penerimaan terhadap pengawasan kinerja kontraktor.
Dalam
hal ini perkembangan secara teoritis dari model
pembeli-penyedia terlalu
sederhana dalam hipotesa bahwa klien pemerintah daerah hanya akan peduli dengan output dan outcome sehingga
dapat berkonsentrasi pada isu-isu kebijakan strategis. Untuk
berhipotesis bahwa mereka akan mempercayakan kepada kontraktor mengenai
kekhawatiran terhadap input dan proses yang jelas-jelas salah. Argumen ini
didasarkan pada skenario pasar yang disederhanakan di mana pembeli dan penyedia
sebagai pihak anonimus untuk melakukan transaksi. Meskipun hal ini
mungkin merupakan gambaran yang akurat dari kebanyakan pasar ritel, seperti anonimitas
yang tampaknya langka di tempat lain.
Pembeli dan
penyedia sering berada dalam hubungan saling ketergantungan, menyediakan komponen atau jasa kepada
pengguna dan keduanya sama-sama peduli pada kualitas produk setengah jadi.
Bahkan di mana ada pembeli dan penyedia jelas
membagi pekerjaan yang erat dalam hubungan antara kontraktor dan unit kontraktor
dapat berkembang dalam rangka mengatasi kesulitan operasional. Penyedia mungkin juga peduli
pada pengembangan layanan, terutama jika ada kemungkinan untuk meningkatkan perubahan perpanjangan kontrak mereka. Ada
bukti kuat dari rezim
CCT Inggris bahwa
klaim memperkuat layanan
kepada pengguna ditingkatkan, yang berbeda dari
peningkatan proses manajerial.
Mengingat
konsekuensi
manusiawi, sosial dan politik dari kegagalan pemerintah
daerah untuk menyediakan pelayanan
dalam jumlah dan kualitas yang
diinginkan, ada kemungkinan bahwa pemerintah daerah akan semakin memiliki
pendekatan yang sangat terstruktur dan komprehensif untuk memastikan pemberian layanan yang berkualitas oleh kontraktor. Fokus
semacam ini jelas bukan semata-mata karena kesulitan dalam mengukur dan menilai
kualitas output dan outcome berikutnya.
Analisis
di atas
adalah hasil dari penelitian yang secara efektif, persaingan kedua kondisi
yang diperlukan apakah cukup untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah
daerah, Sebuah analisis public
choice terhadap operasi dan
hasil dari kuasi-pasar meragukan klaim bahwa kualitas
harus ditingkatkan bagi pengguna jasa, yang berbeda dari kelompok pemangku kepentingan lainnya, Oleh karena itu, masih ada waktu untuk pergi sebelum dipastikan bahwa
purchaser-provider split telah membawa pergeseran penekanan pada strategi pelayanan dalam hal output dan outcome. Jelas,
transformasi pemerintah daerah dari organisasi yang berorientasi produksi
kepada organisasi organisasi yang berorientasi
konsumsi, jauh lebih kompleks daripada logika deduktif dari purchaser-provider split.
Suara
yang tidak diragukan lagi dari kepentingan yang jauh lebih besar daripada keluar sebagai layanan yang biasanya tunduk pada tender
yang kompetitif. Kualitas pelayanan sangat tergantung pada konsumen.
Pengguna dan warga negara dapat mengekspresikan dan mempengaruhi kebutuhan mereka bisa terpenuhi.
Saat ini penelitian Inggris menemukan bahwa keterlibatan pengguna
sangat terbatas dan lebih reaktif dari pada proaktif. Hal ini menunjukkan bahwa suara pengguna masih lemah. Pengecualian
cenderung berada dalam layanan-layanan
di mana pengguna dapat dengan jelas diidentifikasi seperti
asosiasi para penyewa.
Meskipun kualitas
pelayanan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan keinginan pengguna, masih ada kebutuhan
untuk visi strategis tentang
bagaimana setiap layanan harus
dikembangkan di masa depan, Tanpa
visi tersebut, para pemangku kepentingan
(termasuk pelanggan) tidak memiliki
fokus yang tepat untuk mendiskusikan
tentang harapan mereka dari
layanan. Dengan kata lain, peningkatan
penggunaan survei kepuasan pelanggan tidak selalu merupakan pengganti yang tepat untuk representasi
kolektif dan pembahasan publik
tentang sifat pelayanan publik. Semua pemangku kepentingan harus dapat mempengaruhi layanan secara langsung terlibat dalam monitoring dan evaluasi dan dapat
menyarankan cara untuk meningkatkannya. Sebuah
hubungan harmonis antara produsen dan
konsumen harus dicapai. Salah
satu carnya adalah melibatkan semua
pemangku kepentingan. Penentuan kualitas
tidak boleh didominasi satu sisi. Penulis jelas
mengambil sikap normatif dalam hal ini.
Untuk mengklaim
bahwa rezim CCT Inggris telah mempertahankan atau meningkatkan kualitas layanan tetap merupakan pernyataan yang belum terbukti, dari perspektif pemangku kepentingan khususnya didominasi manajerial dan
profesional dalam kontennya. Bukti
jelas bahwa CCT telah
meningkatkan efisiensi teknis dengan penghematan penggunaan input dan mengurangi kerenggangan organisasi di sisi kontraktor. Hal
ini masih menimbulkan keraguan secara terbuka tetapi
CCT telah meningkatkan baik alokasi efisiensi kualitas yang
diperlukan untuk perbaikan tahap
akhir.
Selain
itu, CCT mungkin telah menyebabkan hasil kesetaraan yang
merugikan, hal itu mengurangi upah
riil dan menyebabkan memburuknya kondisi pekerjaan lainnya. Ada juga kemungkinan bahwa implikasi dalam pembayaran jaminan sosial yang lebih besar sebagai akibat dari tingkat gaji yang lebih rendah dan pengangguran yang lebih tinggi. Namun,
pemotongan upah dan PHK paksa ini umumnya tidak menjadi sumber utama
penghematan biaya. Sebaliknya, penghematan
biaya tampaknya berasal dari peningkatan
efisiensi teknis, perubahan dalam campuran modal kerja, manajemen aset yang baik SERTA pengurangan biaya yang berlebihan.
Secara
umum penekanan
pada pelanggan berbeda dari warga negara,
membutuhkan perubahan radikal dalam
bentuk organisasi tradisional dan kontrol sektor publik. Penekanan legalitas tradisional, tugas hukum dan
kesetaraan atau pengobatan berdasarkan
kebutuhan yang semakin dilengkapi
dengan pertanggungjawaban langsung
kepada pengguna layanan sebagai salah
satu kelompok dalam spektrum
perubahan pemangku kepentingan. Sederhananya, konsep kualitas
menjadi semakin kurang kolektif, paternalistik dan di lingkungan yang
tampak berbasis institusi,
konsep ini semakin lebih responsif, berwawasan ke luar dengan pelanggan individu.
Bahkan
jika peningkatan perhatian diberikan kepada preferensi pengguna jasa, konseptualisasi dan pelaksanaan kualitas pelayanan sektor publik tentu jauh lebih luas dari pada pendekatan yang berbasis pasar yang dianut oleh teori
ekonomi. Pendekatan yang lebih luas ini menawarkan lebih banyak ruang untuk pelaksanaan langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas.
Selain itu, secara eksplisit mengakui
konteks kebijakan publik di mana kualitas pelayanan sektor publik ditentukan. Dimensi karakteristik dan fitur kualitas layanan hanya dapat ditentukan melalui debat publik dan musyawarah yang demokratis.
Kedaulatan konsumen bukan satu-satunya
penentu kualitas pelayanan pemerintah daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar